Sampaiakan salamku Angin

Angin semilir sepoi-sepoi, sepi sunyi tak seperti biasanya, sangat luar biasa. Ramai penuh canda tawa seumuran anak serta kasih sayang ibu tergendong di tali bahunya ketika menjelang sore tiba. siapa sangka bahwa mereka adalah para peranatu sejati pula sama seperti diriku.

"Selamat datang di kampung halaman para pemudik"

Jauh tak terpikir, sekejap lenyap menjelang lebaran tiba. Pedagang sayur, siomai, cilok, baso, dan sebangsa mie lenyap serta pedagang jamu keliling itu pula jauh dari gendongan. Baru saja hanya sehari sudah terasa rindu teriakan mereka, yang mengundang pembeli di area gang keong terkenal sempit itu.

"maafkan aku ibu dan bapak, karena belum bisa pulang"

Warna pelangi semakin hari semakin merindukan, biru langit mampu melukis cerita pemudik untuk pulang ke kampung halaman mereka. Tidak sendiri, mungkin di belahan pulau ini banyak menahan kerinduan kampung halaman selain diriku.

Sampaiakan salamku Angin

Kasih saya seorang ibu terhadap anak sepanjang masa aku belum pernah merasakanya, hanya mimpi-mimpi yang sama sekali tak pernah memberi keadilan. Entah kapan, mungkin sudah tak ada kesempatan untuk berjumpa lagi di dunia ini.

Setiap lebaran dengan bapak, hanya batu nisan yang ku tau akrap dekat pohon besar itu, sejuk, membuatku dingin dari terik panas matahari walau air mata bercucuran. Kini hanya kenangan tak berujung perjumpaan.

"sampaikan salamku angin Lebaran? Aku merindukan lebaran di hari yang fitri ini bersama orang tua sama seperti mereka yang masih utuh". Hanya mimpi.

Sejak aku masih balita, hanya bapak yang ku tau wajah asli di dunia ini. Kesempurnaan bapak merawat dan mendidik diriku hingga saat ini dan tahun ini Tuhan tak sanggup menambah usianya kembali, sama sekali tak ada Remisi sepesial hidupku. 3 bulan sudah, bapak meninggalkanku sendirian untuk selamanya.

"Begitu cepat Tuhan memanggil bapak satu-satunya yang ku miliki, Adakah keadilan untuk ku Tuhan, sekali saja"

Pulang untuk siapa dan kepada siapa, hanya Do'a yang dapat aku sampaikan kepada Tuhan di sini untuk ibu dan bapak. Walau tangan tak dapat mengusap nisan dan tanah, beliau selalu ada di dekatku. tak setiap detik usai sholat Do'a ku selalu ku panjatkan.

Hanya bisa berharap, satu-satunya sedarah dan sedunia adiku yang entah dimana Rimbanya selama 18 tahun lebih ini. wajahnya memang lain dengan wajahku, seandainya perjumpaanku di jalan sulit kami mengenali. Hanya mujizat YANG MAHA KUASA memeperkenalkan kami kembali di samping batu nisan itu andai dia masih ingat.

Semarang sudah tak lagi memberi kabar yang pasti dari gubuk reok yang ia tinggali saat itu. Sejak ia beristri, hampir 2 tahun lenyap tak satu tetangga pun yang di pamiti. dimana ia berjalan, aku hanya berharap semoga ia teduh dari panas dan dinginya ngin malam.

Inilah hidup yang kami jalani, dimana sungai itu terdiam seperti air akan terus mengalir mengikuti waktu yang tak pasti hilangya dimana, di telan bumi entah samudra.

Jakarta sunyi, sepi tak seperti biasanya di jalan bagaikan tentara semut lari dari lubang karena manisnya gula. Mungkin hanya butuh satu minggu untuk kembali semula komplek serta gang keong itu dan jalan-jalan semula padat merayap kini hanya pembatas garis jalan dan tetumbuhan di pinggir setiap jalan.

Walau sudah basi termakan hari, propaganda mengundang seni karena mampu tertawa sendiri tanpa melihat comedy, itulah fakta seponsor di jalanan. Seperti tulang belulang tak terselip kulit padatnya halte dan zebrakros di hari senin samapai minggu, jauh lebih sunyi hanya terlintas kerangka yang kokoh dan rapuh tak terhuni.

Baca juga:
Ceritaku puasa di bulan Ramadhan

Autor oleh Desi.
Di persembahkan untuk cerpen Biography.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »