Seribu Bintang

Setapak demi setapak berjalan menyusuri jalan demi kepingan uang recehan sembari memikul beban berat di pundak. Tak jauh berbeda Layaknya sebuah timbangan jika dagangannya berat sebelah. Sulit di gambarkan kala itu tak adaTechnologi penggilingan baso di pasar tradisional, bahkan pasar induk yeng terkenal ramai di pusat kota-kota besar belum terdengar sama sekali.

Mendapatkan daging sapi cuku di bilang mudah di temukan di setiap pasar Ibu Kota, hanya saja proses menjadi baso berjam-jam harus mengeluarkan keringat bercucuran akibat menumbuk daging sapi sampai benar benar halus untuk menjadi makanan baso, Anehnya baso dahulu kualitas rasa tak mau kalah dengan baso jaman sekarang.

Sejak rumah kontrakanya di gusur oleh tuan tanah, ia kehilang mata pencaharianya sebagai pedagang baso keliling. Bertahun-tahun Bapak itu merintis pelanggan di sebuah pemukiman padat, impianya sirna begitu saja. Namun, tekat bulatnya tak menyurutkan impianya sebagai jiwa anak rantau dari Jawa Tengah ke ibu kota Jakarta.

Puing-puing reruntuhan rumah padat hilang seketika, impianya menambah ladang sawah di kampung juga menjadi tanda tanya. Papan propaganda tergambar gedung bertingkat nampak amat megah di sudut jalan itu, mungkin inilah wajah baru rumah kumuh saat itu.

Mulai dari awal, merntis kembali pelanggan terbarunya hingga bertahun-tahun sudah tak ada senyuman untuk menabung seperti alur penjualan baso saat itu. Bosan, bercampur rindu, selalu melintasi pikiranya, siapa lagi kalau bukan istri dan orang tuanya di kampung halaman.

Sejak pernikahan di tahun 70-an, ia belum di karunia Buah Hati sampai saat ini. Walau harapan tipis dapat memiliki keturunan kata dokter saat itu ia tetap semangat hingga saat ini. Sesekali tersenyum ketika bersendau gurau dengan keponakan anak dari adiknya, menurutnya sudah sangat mendapatkan anugrah dari Sang Pencipta.

Kulit hitam manis mata sipit seperti artis dari negara Tirai Bambu. Tertarik, tersipu karena ketampananya, semangat merawat anak itu kelak sampai menutup usianya. Kelima saudara anak adik kadung, hanya satu nomer 4 yang ia anggap sebagai anak kandungnya sendri dan di rawat sampai saat ini, ayah dan ibu angkat juga menganggap saudara-saudaranya sebagai anak sendiri meski sedikit perbedaan dalam sisi kasih dan sayang.

Sejak jakarta sulit mendapatkan penghasilan keputusanya sudah tak dapat di gantikan, meninggalkan sahabat, tak lupa kerabatnya yang masoh bertahan di Ibu Kota Jakarta. Hiruk pikuknya suasanya kampung halaman menjadi mata pencaharian utama sebagai petani padi, Nyaman, Damai, dan Sejahtera hidup di kampung halaman bersama keluarga tercinta.

15 tahun kemudian

Sosok lelaki yang tak kenal lelah, semangatnya mengalir di setiap urat nadi seperti ayah tirinya. Tak kenal hujan, tak kenal panas demi membantu orang tuanya di ladang sawah. Apa yang ia lalukan sudah sepadan dan apa yang orang tua tirinya impikan sudah sejalan harapan.
https://www.mysomer.com/2020/03/seribu-bintang.html

Waktu masih kecil serba kecukupan, kami dan teman-teman mempercayai itu. Aku sangat mengagumi kepribadian anak itu hingga usia dewasa ini. Walau saudara-saudaranya putus di tengah perjalanan untuk menempuh ke perguruan tinggi, ia tetap berjalan lurus hingga mendapat gelar Sarjana.

"Suatau saat nanti kamulah yang akan merawat, memperbesar kesabaran serta kasih sayang sebagaimana kamu masih kecil kami perlakukan. Aku dan ayahmu tidak berharap lebih, hanya butuh perhatian dan kasih sayang ketika aku sudah tak biasa berbuat apa-apa. Berbaring di tempat tidur, menghabiskan sisa hidupku di masa Tua nanti. Aku percayakan semua padamu nak." Pesan ibu tiri yang sebenarnya adalah bibinya sendiri.

"Seribu bintang satu kali memandang, Selama aku masih bisa memandang bintang dan rembulan aku tanggungjawab merawat ibu dan bapak, apapun itu yang terjadi."

Ketika masih kecil, kami di hadapkan dengan berbagai macam arti sebuah kehidupan. Seharusnya orang tua kandung mereka tidak terlalu berpegang teguh terhadap pendirian dan impianya terlalu manis. Dibalik semua itu hanya omong kosong belaka. Masih ku ingat bapak itu ketika sepulang merantau, tertawanya khas orang banyak menjulukinya sodagar, dan kini Ketiga saudara laki-lakinya semakin hari semakin membuat keriput wajah bapak dan ibu kandungnya.

Kesuksesan sebuah anak membawa segala pujaan di tengah kehidupan bermasyarakat. Sejak orang tuanya kolep bisnis, 3 bulan sang ibu kandungnya diajak merantau berasama anak pertamnya. ternyata kabar burung yang ia anggap bohong benar kenyataan. di sana ibu kandungnya di anggap sebagai pembantu, momong cucu, dan segala pekerjaan menantu menumpuk segudang cucian baju menjadi makanan tiap hari sang ibu.

Pepatah Jawa Kuno, "Orang tua mampu anak kan menjadi Raja, anak mampu orang tua menjadi babu"

Mungkin terlalu berat, dan terlalu manis impian dari kenyataan, Kabar dari ibu kota sang ibu kandung menderita penyakit strok akibat beban berat pikirannya. ia sepakat untuk memulangkan ibunya bersama saudara kedua dan ketiga, hingga memakan waktu tiga hari tiga malam sampai di rumah. Berdiam diri di balik ambang pintu kamar rumah sakit, Tak mampu berbuat apa-apa ketika ibunya di bawa pulang adik-adiknya. Ialah anak pertama yang di anggap Gagah berlapis kemewahan ternyata belum mampu membuat bahagia ibu dan bapaknya.

Baca juga: Gagal menjadi orang tua

Semangatnya merawat sang ibu kandung dan ibu tiri sungguh luar biasa, kedua orang tua perempuan sama-sama menderita sakit strok. Berlarian dengan waktu, pagi ke rumah barat sang ibu kandung dan timur rumah sang ibu tiri yang jaraknya hanya selangkah hitungan 20 kaki. kasih sayang sama seperti sebuah timbangan, sama rata sejajar horizontal.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »