Dompet Pembawa Petaka

Boomerang - Bukan Kemauanku untuk mengajak kesebuah ladang bisnis yang pernah aku jalani, kemauanya sangat kuat untuk selalu mengikutiku dari belakang. Tentu, ladang Bisnis adalah suatu Rahasia pabrik yang tak akan bernah terjamah Pemaparan meliputi harga dan lokasi kepada siapapun, hanya orang jujur dan lugu dapat terjadi. 

"sepertinya ia akan menjadi pesaing dagang denganku" bisik dalam hati

Entahah, hanya saat itu juga pemikiranku yang konyol kepada teman sendiri bahkan tetangga. dari raut wajah yang mereka simpan hanyalah rasa penasaran tentaang Relasi meliputi Lokasi. 

Saat itu juga, aku persilahkan untuk mengikuti jika memang benar ia penasaran tentang Bisnis ikan yang aku jalani benar nampaknya begitu Prospek menjajikan. 

Hanya Segelintir Book tempat ikan yang menjadi sahabat keseharianku kemana aku pergi dagang. bahkan, waktu tak akan pernah tahkluk bersama timbangan per-Kilogram selalu mendapatkan bonus untuk pelanggan setiaku. 

"Sore itu, jauh tak terpikir jika akan menjadi sejarah hidup yang pernah akau alami"

Hampir setiap sore setelah Azhar selalu melewati Lembah dah Bukit untuk mencapai ke lokasi tempat pelelangan ikan, 40 kilometer bagiku ku sangt kecil untuk menggugah niat seorang Bisnis. 

Tiba di rumah jam 9 malam hal biasa, terkadang jam 10 malam jelas dapat membuat Emak cemas. dalam 1 kali 24 jam waktu tidur hanya 4 jam selama berbulan bulan, tentu semangat tiada surut dimana ladang tempat makan kami Sekeluarga. 

Saat itu, ditengah perjalanan kami bertiga dengan mengendendarai sepeda motor menyusuri bukit-bukit gunung dan Lembah sebelah selatan desa kami tinggal. kedua Rekanku berboncengan, sedangkan diriku sudah terbiasa bersanding dengan si putih suci, yang tak lain ialah Book kotak tempat ikan. 

Beruntung aku punya Emak yang sangat Mulia, sejak kecil kami sekeluwarga sudah di ajarkan setiap keluar rumah selalu Mengucap "Bismillahirohmannirohim", sampai sekarang aku tak pernah lupa. 

Bising audio sound dan kenalpot anak-anak sekolah itu layaknya tak sejalan dengan harapan, bahwa itu tempat pesta berpakaian penuh wibawa dan para anak pemula. "Maklum, masih anak-anak sma".

50 meter, tak luput dari pandangan

Dopet hitam berbahan Levis di hadapanku, sangat jelas untuk menghindari injakan Ban depan motor yang aku kendarai. Mungkin Peluang emas menurutnya, akan tetapi bagiku peluang Emas Tak berkarat. 

dompet pembawa petaka

Situasi dan kondisi di jalan samping orang hajatan tentu menjadi bahan perbincangan. Tidak membuatku Buta dari Spion kanan Lirikan kedua mataku tau apa yang di lakukan kedua temanku, berhenti dan berusaha mengambilnya di tengah keramaian lalu lalang festival parfum dan kecantikan di tempat hajatan itu. 

"Apa kamu tidak tau dompet tadi?" ujarnya sembari mengejar di sampingku. 

"Aku tau, tapi pura-pura tidak tau" 

 "Ada Ungnya 150 nanti kita bagi tiga ya...?"  jelasnya terbata-bata.

"Cuman ada kartu pelajar, yang lainnya tidak ada" 

"Tidak, sebaiknya di balikan saja, kasihan" 

Bagaimana jika itu dompet ku, betapa susah dan gundah satu satunya barang berharga yang di miliki. 

Sunyi sepi, hanya kami yang melintas jalan itu, Reruntuhan daun sekan membuat Gundah sang pemilik dompet. betapa susahnya jika kedua orang tuanya merantau dan itu satu-satunya uang untuk biaya makan dan Transpot ke Sekolah. 

Mungkin sebuah Rizki tak terduga bagi Rekanku, di buanglah dompet itu ke jurang sebuah sungai yang berada di pinggir jalan penuh semak belukar. 

"Aku tidak ikut campur urusan duit itu ya? terserah kalian berdua" 

"lha.. ngopo??" 

"Ok.. siapp.."


---***---

Menaruh kepercayaan kepada seseorang bukan sifat baru bagi ku. tiba di lokasi tidak luput dari waktu Maghrib seperti biasa, Sholat berjama'ah sudah menjadi rutinitas keseharian. 

Aku bukan ustad yang selalu memberi petuah-petuah Religius, agar tobat, agar sholat, akan tetapi aku memberi contoh kepada siapa saja yang dekat padaku. Beribadah tidak harus di ketahui sesama orang, atau hanya cari sensasi sama sakli bukan tipe yang aku miliki.  kedua temanku mungkin tersipu, mendengar Adzan ucapan pamitku menjadi pertanyaa datail kepada Bos ikan. 

"Di rumah belum pernah aku lihat ia sholat, sering to pak di sini sholat?"

"Sering mas, bahkan setiap hari"

Entah kesempatan atau memang sudah memiliki niat buruk yang melekat dalam jiwanya, aku hanya percaya mengenai kualitas ikan yang di timbang dalam book miliku. setiap kali pulang Sholat Maghrib pasti sudah selesai di kemas rapi, walau sebenarnya kenyataan ingin teriak dari hasil penjualan. 

Segelas kopi hitam terkadang menemani perbincangan sebelum beranjak pulang, berbagi cerita dan pengalaman sudah hal biasa walau segelas kopi tidak terbiasa 1 minggu sekali, dan itu sama sekali tidak kami harapkan. 

"Lumayan brow, dapat kelinci murah dari teman anaknya bos kamu, di jual di kampung untung melimpah nanti". ujar temanku satu. 

"Peluang bagus itu, Rejeki kalian emang top" 

Ditengah kesibukan ku mempersiapkan book ikan di atas jok motor, sorot matanya sayu jelas malu atau memang perasaanku yang tertipu. 

"Gimana, uang ini tadi kita bagi 3 pas 50 ribuan?" 

"Saranku sebaiknya di kembalikan saja, kalau kalian setuju" 

"Terlanjur, untuk Tambah bayar kelinci, Kalau kamu mau nanti jatah kamu di rumah saja" 

"Terimakasih, jangan pikirkan aku" 

"Oke..lah kalau begitu"

Mereka berdua sepertinya sependapat, seotak, sehati, pastinya satu keturunan, hanya aku yang menolak segala cara dari hasil isi Dompet tersebut.

Malam kian berlarut di telan kegelapan, sorak soraya nian gembira suara habitat malam berkeliaran, sedikit demi sedikit kami berjalan menerjang kegelapan itu. 

Terang tak dapat bersaing Surya, Picak sebelah tak menjadi hambatan lampu motor satu satunya perjuanganku. Maklum, hanya inventaris rekan yang berhati mulia.

"Beg... Beg.. Beg.. Beg...." Suara motor.

Nasip memang beruntung karena bukan musibah tingkat dewa yang aku dapat, bahkan pertama kali ini aku mengalami motor putus Gas.
"Ganjaran apa ujian iki?" bisik dalam hati.

Senyum terurai sedih muka para sahabat. Mungkin, Beban Book Ikan 35 Kilogram yang menjadi Berat ia pikirkan. 

Jam Tayang mereka hidup tak seperti di keramaian kota, di tengah lautan pepohonan tak penghuni berhenti di tengah tanjakan langsam. pasrah bukan berarti tak mau usaha, walau kami bukan ahli Mekanik namun selalu memuputar cara. 

"Mati kenapa Brow...?" tanya begitu panik. 

"Olor Gas Putus" 

"Duh.., Bengkel pasti jauh. depan ada bengkel gak ya.." tegasnya begitu cemas. 

"Dorong saja, yang penting kita dapat bengkel" saut rekanku yang satunya. 

"Motor kalian ada obeng Plus ndak?" tanyaku.

"gak ada brow" 

"Kalau ada, untuk sementara kita jalan Insyaallah bisa. Kasian kalau kalian dorong, Perjalanan kita masih jauh" 

"Ora popo.., yang penting kita bisa jalan sementara" 

Adzan Isya berkumandang merdu jauh di sana, jelas di sebelah bukit gunung itu. gelap gulita tak satupun manusia melintas selain kami bertiga. sesekali Truk Lewat saja seperti kesambet setan karena begitu kenceng ia mengemudi. 

Sempoyongan sudah pasti linu kaki mereka dirasa, terkadang kaki kanan terkadang kiri tak mampu menemukan pertolongan di pinggir jalan. wajar saja di jam-jam malam sudah tutup pintu puluhan rumah di pinggir jalan itu. 

"Pada ngimpi apa semalam" tanya dengan ngos-ngosan kringat bercucuran. 

"Blas.. sama sekali tak mimipi apapun" 

"sama" 

Menyusuri lembah perbukitan, naik turun tanjakan, gemerlap lampu di pinggir jalan satau-satunya kecamatan salah satu yang akau lewati kabupaten wonogiri, sekitar 10 km baru kami menemukan bengkel. 

Entahlah, ia mengejar target atau setoran tanggalan yang jelas nampak tumpukan ban dan pintu terbuka terang, lebih meyakinkan lagi selang kompresor yang terbentang terselip pohon di depan. "Nah... itu ada bengkel" jelas temanku senyum terurai semangat gemberia dan, ternyata hanya bengkel tambal Ban setelah kita sampai. 

Begitu rileks dan begitu nyenyak, kami berusaha membangunkan bapak setengah baya sang pemilik bengkel. sedikitpun aku tak yakin bahwa ia mempunyai olor gas sebagai pengganti, 2 etalase terpajang sama sekali tak ada apa-apa terkecuali 4 atau 5 tumpukan bandalam sebagai cadangan pengganti. 

Saran berbagai saran dari bapak itu, sudah kami lakukan untuk mengetuk pintu beberapa bengkel menurutnya tepat untuk mendapatkan pertolongan. 

Namun apa daya, tak satupun bengkel yang kami ketuk pintu membuahkan hasil. sang montir pergi, di sini hanya ngontrak, dari ke 4 bengkel jawaban selalu sama. 

Waktu sudah menunjukan pukul 20:39 WIB dan itu masih ku ingat jelas jam dinding tanpa detik jarum merah di bengkel tabal ban itu. Obeng plus yang kami maksut sama sekali bapak tidak memiliki, hanya sebuah congkel ban, gergaji dan kompor minyak tanah yang ia punya.

Mungkin beliau terharu, setelah mengetahui tempat tinggal kami yang menurutnya tidak wajar amat jauh menurutnya. perjuangan yang sama sekali tak ternilai jasa beliau kepada kami, kesibukanya mencari obeng  ke tetangga yang tidur nyenyak juga tak membuahkan hasil. 

Setengah putus asa, Hanya Tang jepit kecil berkarat yang ku lihat di kotak kosmetik peralatan tambal ban bapak itu. apa pun yang terjadi dan apapun usahaku akan aku maksimalkan, karena perjalanan masih 25 kilometer untuk pulang kerumah. 

Keringat bercucuran, teknik dan strategi segala cara walau diriku bukan anak STM setidaknya pernah aku pelajari, sedikit demi sedikit body penutup kerangka terbuka. tempat dimana karburator dan penarik pegas dapat aku rubah strategi. 

Mereka bertiga terpelongo apa yang aku lakukan, hanya tang dan seutas rafia dapat menuai pertolongan sementara untuk menempuh jarak 25 kilometer. 

Tidak ada yang sulit walau merubah pengaturan pabrik,  hanya saja sedikit kaku dan mustahil penarik pegas berada di kiri. seribu kata ucapan terimakasih dan pamit kepada sang bapak gendut perut buncit,  senyum membalas kebaikan dan saling mendo'akan untuk selamt sampai tujuan. 

Tiga hari kemudian

Hanya Toko kelontong di sebrang jalan samping Sekolah Dasar Negeri 1 di desa itu, tempat dimana berkumpulnya para pemuda pengangguran penuh hayalan tinggi. beruntung diriku masih ada kesibukan, walau masih dibilang lajang tanpa momongan. 

Siang dan malam, bahkan tak pernah sepi untuk kopa kopi sembari ngrumpi kesana kemari, siapa lagi kalau bukan si kaya dan si miskin yang menjadi treending topik. sesekali tukar pengalaman kerja saja selalu mengalihkan perhatian dan membatasi hasil bisnis yang menurutnya mereka anggap tidak jalan jangan di lakukan. 

Ya.., itulah kampung pelosok yang aku dengar penuh sejarah ikan berlumur garam kata para wajah keriput yang sudah nyenyak di dunia fana. 

"Uang itu, sampai sekarang aku belum meneriam kejelasanya. dia bilang, saya mau di kasih 50 Ribu" jelas rekanku paling muda saat itu yang tengah ikut pergi ke agen ikan. 

"Maksut kamu...??"

"Wallah...,pas nemu Dompet itu lho..!!"

"Mosok..??"

"Demi Allah ya.!! sampai sekarang orangnya diam, tanpa ada kejelasan. aku juga diam saja, mau memperjelas sangat sungkan brow.!" tegasnya senyum kecut. 

Tempat satu-satunya jikala pasar sudah sepi  pembeli, malas keliling hanya di bawah pohon kersen itu motor dan book ikan untuk bersandar menanti tetangga membeli satu kilogram atau dua kilogram ikan yang aku jual.

Entah ia kasihan kepadaku atau memang penggemar ikan tawar tentu sulit di Rumuskan. Bahkan, 1 minggu terkadang hanya lowong 1 sampai 2 kali saja membeli ikan.

Hal wajar nan biasa jika mereka meredam kasihan dalam hatinya dan itu pun tidak semua memiliki karakter yang sama terkadang uang pas terkadang pamit membawa terlebih dahulu sampai sekarang tak ada kejelasan juga ada, itulah asyiknya persaudaraan pedagang bagiku.

"Saranku, tak usah meminta. kalau di kasih di terima, kalau tidak ya Sallamuallaikum.. Gitu aja Brow. Resiko apapun kan dia juga yang nanggung, kita hanya saksi mata gitu aja"

"Lha ini masalahnya..!! aku mau minta berat mau omong. karena motornya masuk bengkel"

"mosok.. benar-benar lucu"

"iya.. benar brow, mosok aku ngapusi!! katanya ganti piston komplit, streng dan cvt. yang jelas turun mesin semua, dia bilang padaku juga butuh dana besar sekitar satu setengah jutaan"

"Ya.. itu!! entah kebetulan atau memang karma kan kita juga ndak tau. kita ambil hikmahnya saja, padahal kan motor baru. Aneh..!"

"Maka dari itu. apa gara gara dompet kemarin ya??" 

"bisa jadi"

Sorot matanya sayu menanggung malu, sekilas nampak memikul beban gunung lawu. Terlipat lipat wajahnya kusam akibat banyak pikiran, langkah kakinya bukan sembarang orang biasa, apa yang di depan selalu jadi sasaran. 

Tak mau di juluki bibir kaum hawa, ia pergi setelah mengetahui kedatanganya. sapa saling sapa, sebungkus es teh menjadi alasan untuk bergantian curhat. 

Rona biru langit cerah tak berawan mega mendung, tak segumpal awan hitam penuh kejujuran, sama persis kabar yang aku dapat sebelum ia cerita. Apa yang terjadi pada dirinya dan soal motor ia ceritakan padaku dari A sampai Z tak tersisa. Hidayah bukan untuk teori. bahkan, ia juga merasakan akibat efek samping dari dompet itu datang musibahnya yang di hadapi. 

Untung dari hasil penjualan kelinci dan uang 150 bahkan tak mampu menutup luka yang di rasakan dari nominal rupiah yang di butuhkan saat itu untuk motor kesayanganya, Hanya ratapan nasip yang ia sampaikan jikala belum beruntung memang sulit.

Baca Juga: Pemimpi Bumi

Dibalik Cermin ada kenyataan
Hanya Sang Maha Pencipta Di Atas Segalanya
Sengatan lebah terkadang membawa Hidayah 
Namun terkadang membawa musibah bagi siapa saja

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »