Si Kecil Pemulung Padi

Dicelah rumpunya padi di pinggir desa, menjadi ladang pangan dan penghasilan warga sekitar. Walau tidak banyak mereka yang memiliki sawah, sebagian menggantungkan hidupnya demi upah pekerja buruh ke sawah. Mayoritas, Warga penduduk seorang petani padi. Dapat di hitung dengan jari mereka yang memilih untuk merantau ke kota untuk mencari nafkah.

Endi, Saat ini masih berusia 10 tahun. Namun dalam relung hatinya telah tertanam tekat kuat membantu kedua orang tuanya mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan adiknya, Karena dirumah hanya mereka berdua saja. 

Sang Ayah (Maman), Sejak 5 bulan terahir tak dapat sepenuhnya menghidupi keluarga, lantaran sakit strok yang di deritanya.Tubuhnya tak lagi sekuat dulu, Terhambat jalan tak normal seperti orang pada umumnya.

Sedangkan Sang Ibu (Ginem). Juga tak dapat berbuat banyak untuk anak anaknya, lantaran waktunya tersita dengan jualan puing puing kerupuk beras di pasar magelang, semua itu demi masa depan anaknya yang berada di kampung.

Hidup serba kekurangan tak sedikitpun menyurutkan langkah kaki Endi untuk menimba ilmu. ia enggan mengikuti jalan kakaknya, memilih meninggalkan rumah demi sekolah Rakyat. 

Keluarga Pak Maman, Cukup tergolong keluarga tidak mampu.Tak lain, karena tak sanggup membiayai beban sekolah mereka. Solikin, Memilih untuk merajut Pendidikan demi masa depan kelak untuk bekal hidup mendatang.

Anak pertama "Solikin", lebih beruntung terpilih karena ia mendapatkan bantuan dari Pemerintah untuk bersekolah di kota Pati. Sehingga, Beban terasa ringan, segala keperluan sekolah tak lagi menjadi beban berat yang harus di tanggung oleh kedua orang tuanya. 

Anak kedua "Endi", ia mendapat tugas dari orang tuanya untuk merawat "Eri", yang kini masih berumur 4 tahun. Sebagai kakak, Eri menjadi tanggung jawab sepenuhnya dalam segala kebutuhan yang harus di tanggung oleh Endi. 

Cerpen

Enam kali dua belas, Rumah sepetak di tanah peninggalan orang tua sang ibu, Satu satunya tempat warisan orang tua untuk berteduh dari panas maupun hujan Endi dan Eri di rumah. 

Bangunan rumah cukup tergolong kuat, Hanya saja papan papan keropos di cendela serta pintu sebagian besar penutup semua masih dapat di terjang angin untuk masuk kedalam rumah. 

Belum lagi, jika lampu padam di malam hari. mereka menyalakaan lilin buatan Almarhum kakeknya yang cukup di bilang tradisional dan langka. Botol bekas, minyak tanah, dan kain dari sumbu kompor sudah cukup Bersyukur untuk penerangan sampai pagi hari. 

5 Bulan kemudian

Jangankan untuk menelepon, hidup di era 90 an sama sekali belum mengenal Telepon atau Smartphone, wartel saja musti berjalan sampai Kecamatan. Mengharap, Menanti kedatangan seorang ayah dan ibu tercinta yang di rantau, itu yang terlintas di pikiran Edi dan Eri setiap hari ketika beranjak tidur malam. Umur tergolong masih balita, seharusnya tidak lepas dari asuhan orang tua, nasip berkata lain apa yang di alami Endi dan Eri. 

Lonceng jam sembilan pagi memberi tanda bahwa jam belajar di sekolah istirahat pertama. Endi harus pulang menjemur padi hasil berpetualang kemarin sore di sawah. 

Keseharian mereka tak seperti anak pada umunya, Teman teman mereka sibuk Bermain, Jajan, Segala kebutuhan serba tercukupi. Berbeda dengan Endi dan Eri, usai pulang sekolah ia harus pergi keladang sawah, demi butiran padai untuk menyambung hidup di hari esok

Keadaan membuatnya menjadi Mandiri, Tanpa rasa malu dengan rekan rekan bermainya, semangat mulung padi di sawah tanpa membuatnya mengeluh lantaran jauh dari orang tua.

Padi usai panen, sedikit demi sedikit ia kumpulan pada karung kecil hasil memungut di ladang sawah milik orang. Tubuhnya yang kecil nan mungil, tak perduli menerjang rimbunya batang padi demi butiran padi yang berjatuhan di ladang. 

Sang kakak Endi, Selangkah demi selangkah menyusuri ladang. Sang adik menunggu di jalan pematang, sembari membersihkah padi yang masih menempel pada ranting ranting. 

Mereka tergolong rajin, Tak bersedaku tangan.Terkadang Sang adik di beri tugas untuk menjemur padi di rumah, sementara sang kakak memulung kesawah. Rukun damai dan sejahtera tanpa adanya orang tua di sampinya menumbuhkan rasa belaskasihan kala orang mengetahui kesibukanya.

4 Bulan kemudian

Hampir 9 bulan terahir, sang Ayah dan Ibu tak kunjung pulang ke kampung halaman. Kabar demi kabar mereka pinda ke Boyolali, Kata seorang pedagang Mie Ayam yang tinggal di kampung sebalah. Tidak lain, Pak Wagiman yang sering menghantar kiriman uang jajan Endi dan Eri.

Belakangan ini sepi, tanpa adanya kiriman untuk Endi dan Eri. Beruntung biji biji padi yang ia kumpulkan dapat untuk bertahan hidup selama musim panen ini. Terkadang ia jual dengan kondisi gabah, juga terkadang kondisi beras di salah satu penggilingan padi terdekat ia tnggal.

Uang jajan, saku sekolah, siapa lagi kalau bukan biji padi membantu keseharian Endi dan Eri. Paman, Saudara pertama dari ibu, terkadang juga menghantar nasi dan lauk pauk seadanya, itupun jarang jarang untuk menjenguknya meskipun dekat rumah tinggalnya. Nampak gembira jikala mendapat nasi kondangan dari tetangga yang punya hajat, karunia Tuhan yang tak ternilai ketika ia makan berdua di teras depan rumah begitu rukun dan bahagia. 

Hujan deras membasahi bumi amat lebat, hampir 1 jam lebih.Saking asiknya mereka makan dengan lahap, lupa akan jemuran pakaian di belakang rumah. Padahal, esok pagi hari penghormatan Bendera Merah Putih sebagi rutinitas Upacara di hari senin. Kayu bakar ia pungut di bukit kampung sebelah juga ikut di guyur hujan. 

Malam kian larut, Endi tak habis berfikir tekatnya untuk menggarang baju putih celana merah dekat bara api, Sisa kayu kering yang sudah ada di samping tungku dapur masaknya menjadi inspirasi sebagi pengganti panas matahari. 

Esok hari 

Kabut lenyap, tersapu angin menghantar menyambut matahari terbit di ufuk timur. Kokok ayam kampung terdengar membahana lantaran kandang ayam tetangga di samping tempat tidurnya. Tersampir handuk merah di pundak dengan membawa gayung di tangan kirinya menuju sumur tradisional milik tetangga. 

Masih tertidur pulas di singga sana dipan tempat tidur terbuat dari bambu itu, Gaya tidur Eri mengapit keduatanganya dengan posisi miring menahan dinginya pagi hari. 

Gemuruh suara disel mesin mobil terdengar dari sumur tempat Endi mandi. Sebuah mobil hijau tua berhenti di depan rumahnya yang terlihat tidak jauh dari pekarangan. "Byurrrr" , tali ember sumur di lepaskan begitu saja kemudian ia lari. 

"Bali Nem.. " sapa tetangganya di balik pagar tumbuhan pekarangan. Beberapa tetangganya juga mengetahui kepulangan orang tua Endi.

"Wah kae.., Maman mulih." ucap lirih teman ngopi pak Maman.

Mendengar jeritan Ibu Ginem semua tetangga keluar menyaksikan, berlarian mendekat, menyapa, membuat keadaan menjadi semakin terharu terharu.

Diam membisu di balik batang pohon pisang Endi berdiri menatap sang Ibunda Tercinta. Terselip slendang di pundak Ibu seorang anak kecil dengan jerit tangisan. Tangis histeri sang ibu terhisak hisak lantaran Ambulan dari belakang ia berdiri membawa pak Maman yang sudah di panggil Sang Pencipta. 

"Di..., Mbok mu mulih " teriak pamannya.

Tangis air mata Endi melepas rindu kepada orang tuanya berusaha mendekat. memeluk Sang ibu yang masih berdiri menggendong si bungsu yang masih bengek. orang orang membantu petugas rumah sakit yang membawa Pak Maman untuk di masukan kedalam rumah. 

Mulut ke mulut mereka memberi kabar sebagian tetangga dan kerabat, Beruntung, warga sekitar tergolong Rukun damai dan sejahtera, Sosial Kemasyarakatan yang kuat para tetangga sigap untuk segera mempersiapkan tradisi Pelayat. 

Baca juga: Seribu Bintang

Hari senin yang di nanti Sragam Merah Putih untuk melaksanakan Upacara di Sekolah tertunda. di balik daun pintu menyambut matahari terbit ia menaruh sragam itu. Suratan takdir yang di alami Endi dan Eri rindu menanti kedua orang tuanya terpenuhi dengan keadaan yang semestinya. Keadaan membuatnya bergeming Eri bangun tidur mendengar tangisan sang Ibu yang berusaha memeluknya. 


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »