Kisah Petani yang tersakiti

Hiruk pikuk angin sore di ladang sawah serasa di pantai pasir putih. Dalam hati kecil kami merindukan angin pantai sore hari, tidak lepas kami mengabadikan moment sunset, Selfi untuk mengganti foto profil media sosial, Sedikit pamer kenyataanya hanya sebuah mimpi kecil tak tersampaikan. 

Kenyataanya, kami hanya di ladang sawah demi merebutkan butiran padi agar tidak di dahului oleh pasukan burung pipit. Biasa, bulan Agustus sampai September seluruh umat desa kami menuai padi hasil bumi, satu satunya ladang pencaharian dan pensiunan. 

Keluarga kami termasuk orang yang paling beruntung sedunia, karena tak memiliki ladang sawah baku dapat menggarap sawah 1 hektare. Maklum, sebenrnya kami adalah kaum miskin tergolong tingkat dua dari mereka yang lebih smiskin. 

Sahabat ibu kami dari kecil masih mengingat masa muda serta masa susahnya tempo dulu. Ia tergolong orang mampu, memiliki 1 hektare sawah yang tidak sanggup untuk menggarapnya sendirian, hanya ibu kami yang dapat di percaya untuk menggarap sawah itu. Berkat kejujuran dan sahabat semasa kecil, hampir 3 tahun 6 kali panen ibu masih di percayainya untuk menggarap hingga saat ini. 


Entah apa yang terlintas dalam benak beliau seorang ketu Rt tetangga sawah yang di garap sang Ibu, juga tetangga satu Rt kami. Ketika ratusan burung pipit hinggap di sawah pak Rt kami selalu menjaganya agar tidak merusak padi beliau. Namun, ketika kami terlambat ke sawah terlebih dahulu di sore hari karena sibuk memgurus hewan hewan di rumah dan, kami sempatkan untuk melakukan Sholat Asar yang menjadi tanggung jawab penuh, kami di buai kebimbangan ketika melihat beliau menjaga sawahnya di luar dugaan membiarkan ribuan padi memakan padi ladang Ibu kami. 

Bukan berarti kami untuk bermusuhan dengan beliau, karena ini adalah tanggungjawab kami seharusnya tidak terlambat. Sedikitpun kami tak merasa iri atau untuk berdiskusi untuk memperjelas perjuangan kami di pagi hari membantu menjaga sawahnya. Karena kami sadar hal hal terkecil yang di anggap sepele mendapatkan Hikmah di balik keihklasan yang sesungguhnya, ini semua berkat ibu mengajarkan arti sebuah ihklas sejak kecil

"Sabar dan ihklas, perbedaanya sangat tipis"

Tak terasa, hampir 10 hari kami melakukan kegiatan seperti ini setiap pagi dan sore hari. Ratusan hektare dan pemilik ladang berteriak teriak mengusir ribuan burung pipit, "di sawah serasa di stadion bola" ini kenyataan yang sesungguhnya ketika hama burung pipit transmigrasi di kampung kami. 

Ketika padi menjadi ladang penghasilan para juragan beras, hal biasa jika padi tidak di panen sendiri namun di jual dengan keadaan belum di panen. Beruntung pak Rt sawahnya sudah terjual dengan harga tinggi oleh salah satu juragan beras dari kampung sebelah, dan kurang beruntungnya padi yang di garap Sang Ibu di tawar dengan harga murah di bawah harga standar. 

Terdiam, hati penuh tumbuh kesabaran menahan ejekan pak Rt yang mengetahui tawar menawar harga padi, pada ahkirnya penebas padi pergi begitu saja tanpa memberi tambahan harga. 

5 hari kemudian

Rejeki tidak salah alamat, dan alamat menjadi tujuan sebuah rejeki itu datang. Ibu yang semula mencari rumput di datangi seorang juragan padi, di tawar dengan harga standar. Beruntung sang Ibu mendapatkan seorang juragan baru dengan seorang kawan yang di kenal pak Rt. 

Selangkah demi selangkah Ibu menemani sang juragan keliling mengecek kondisi padi. 

"Kalu bisa turunkan harganya, jangan di tambah"

Di sebelah bukit, juga terdapat sawah yang di garap sang Ibu. Walau tak begitu banyak jumlahnya berhektare, lumayan untuk sampingan sistem bagi hasil dengan kakek jompo tetangganya. 

Seperempat sawah juga ikut di jual pada sang juragan beras. Harga yang tak seberapa do bandingkan dengan ukuran hekatre uang yang di dapatnya. 

"Ada apa di panggil pk rt tadi?" Tanya sang ibu pada rekan juragan penebas padi. 

"Suruh bilang sama bos, jangan di beri tambahan. Cukup harga segitu saja dia bilang" jawabnya

"Oh..., Dikira saya tidak kenal kamu. Ya begitulah sifat orang iri, sakit hati, orang mau makan saja musti banyak hambatan" saut sang ibu. 

"Aku juga tidak tau apa maksutnya ia bicara seperti itu" 

Orang yang menganggapnya kaya, mampu akan soal duniawi, memang memiliki sifat hati berbulu, jika orang miskin mau makan hasil keringat dan kejujuran. Seperti pk Rt, yang mulai baik hanya di depan wajah, melainkan buruk sifat dan karakter ketika di belakang. 

"Ini yang 1 hekatare panjernya satu juta rupiah, yang seperempat panjernya 200 ribu. Sisanya nanti setelah padi di panen ya? Terang sang juragan padi kepda ibu

"Baiklah kalai begitu saya terima"

Dengan senyum remdah hati sang juragan pergi bersama rekan ibu. Sopan dan santun sang ibu ketika berjalan menyapa pk Rt yang tidak dapat menyembubyikan wajah sinisnya ketika ia mengetahui pembayaran Dp. 

Sore itu, langit terlihat mendung

Mendung kian melarut menyembunyikan matahari di ufuk barat. Nampak hujan di celah gumpalan awan hitam sebelah utara begitu gelap merona rona, angin semilir hulubalang mereka berlarian untuk pulang kerumah. Pada akhrinya hujan angin hingga malam hari. 

Seribu caci bersembunyi di balik hati kecil mereka agar tak rusak padi padi meraka di ladang. Keadaan yang membuat mereka para petani saling was was karena hujan angin dapat membuat roboh padi padi itu. Semakin malam, semakin deras hingga pukul sembilan malam. 

Pagi hari 

Wajah lesu tak seperti biasanya, berkeliling sorak sorak petak umpet dengan prajurit burung pipit agar tidak memakan padinya. Aman, tak sehelai batang padi sang ibu ambruk seperti milik tetangga.

Menahan perih jika dirasa untuk kami ungkapkan sebetulnya, akan tetapi kenyataan yang sesungguhnya terjadi pada sawah pak Rt tertata rapi seperti menggelar tikar di sebuah gedung acara kondangan. 

Setengah hektare padi milik pak Rt roboh di terjang hujan angin tadi malam. Padahal, padi padinya masih jauh untuk segera panen seperti padi milik tetangganya. Hari itu juga, mempekerjakan 2 orang untuk mengikat padi yang roboh agar berdiri seperti layaknya meski tak sempurna. 

Hanya sawah Pak Rt yang roboh dari sekian sawah milik tetangga tetangganya. Biaya untuk mendirikan padi yang roboh juga tak sedikit untuk di keluarkan, karenanya padi tersebut sudah laku terjual dahulu pada penebas padi langgananya. Apapun yang terjadi masih menjadi tanggungjawab pemilik padi meski sudah resmi di beli penebas. 

Hampir sepekan baru rampung mendirikan padi. Biaya pada umumnya untuk upah pekerja sekitar 75.000 Ribu Rupiah per orang, jika dua orang Tujuh puluh lima ribu rupiah di kali dua hasilnya di kalikan tujuh hari cukup untuk bersedekah pada orang yang haus pekerjaan. 


Kami hanya kasihan, seharusnya tak menjadi beban berat mereka, namun kini menjadi beban berat yang harus di jalani. Entahlah, atau mungkin ini azab nyinyir terhadap orang miskin seperti sang ibu yang tersakiti. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »