Terkadang bahagia terkadang berselimut air mata di tempat tidur yang indah di balik tembok rumah kontrakan Kota Jakarta. Sesengukan sambil mengusap air mata entah kemana suami tercinta setelah pulang bekerja. Tak semenit setelah pulang dari warung, ia selalu sibuk dengan telepon yang di kenalnya akrab, lalu pergi begitu saja.
Waktu tak terbelit keinginan dan harapan, istri selalu di tinggal sendirian tengah malam hingga fajar tiba, "katakanlah seorang bos warung makan pecel lele"
Kekayaanya sudah tak lagi di ragukan, bahkan tak pernah kalah saing dengan tetangga kampung ketika mudik Lebaran layaknya festival toko Mas berjalan, maklum hampir semua wanita sama jika mampu.
Lebih dari lima gelang di tangan menghias cincin jemari kanan kiri. Tak kalah berat lehernya terlilit rantai Mas berkarat seakan mencekik leher karena kemurnian perhiasan mas asli, silau di hadapan Persainganya.
Sayangnya, biji kacang menumbuhkan tunas berumur lima tahun di kampung halaman bersama orang tuanya "mertua" di jawa. Saking sayangnya cucu satu-satunya yang di hasilkan dari pernikahan 6 tahun terahir harus jauh dengan orang tuanya di Jakart karena masa depan dalam segi Ekonomi, dan mertua mendukung untuk tunggal di kampung saja.
Baca juga: Langit tak memandang hina
Jauh dari anak, jauh dari Rizki bahagia meliputi kenyamanan. Hidup serasa tiada arti kekayaan yang di hasilkan tak sebanding dengan kebahagian dalam berumah tangga.
Berangkat dini hari, pulang sore hari. Itulah bos laki-laki yang di sapa dari kelima anak buahnya dari warung induk dan cabang di salah satu pinggir jalan kota Jakarta.
Lambat bulan berganti bulan lama-lama terbelenggu Jemu, satu atap dua pemikiran. Sang lelaki hanya membutuhkan ketika butuh dan memberi uang belanja kepada sang istri tidak lebih dan tidak kurang di setiap minggunya.
Suntuk, bosan, bahkan tidak mendapat kepuasan bahagia dari sang suami. Kebahagiaan hanya terukur oleh kekayaan namun tak bersanding anak perempuan satu-satunya termasuk bagian masa depan. Sibuk dengan kesibukanya menggali menumpuk harata hingga lupa akan kasih sayang terhadap anak.
Hari ketika itu, permintaan dari hari berganti tahun selalu di tolak oleh sang suami. Hingga nekat keputusan bulat sang perempuan pulang kampung halaman mertua untuk menemui anak tercintanya.
" Jika anak kita satu-satunya masih tidak di perbolehkan sekolah di jakarta, aku akan pulang kampung hidup di rumah bersamanya ". Tegas sang istri.
" Kebetulan, silahkan jika itu mau mu!! Jangan memikirkan bulanan, semua aku cukupi ", saut sang sumai dengan cetus.
1 Tahun kemudian
Hiruk pikuk angin malam di musim kemarau menjemput tumbuhnya manggar buah mangga yang terkenal asam, manis dan kecut jika di makan. Dengan leluasa tanda kendali layaknya kuda tanpa kusir.
Mereka sama-sama bebas, hidup seperti tiada beban dan tanggung jawab sebagi mana mestinya berumah tangga. Asam manis kecut yang di rasa sang istri tidak mampu menembus kesabaran sesungguhnya.
Baju baru, perhiasan baru, bahkan sedikit tak ada yang kurang semasa hidupnya di kampung halaman mertua sembari merawat anak perempuan satu satunya yang duduk di bangku Taman kanak-kanak.
Namun, jauh dari suami yang tak mampu menyelimuti ketika dingin di malam hari membuatnya linglung di setiap detik. Sesekali melakukan Sholat malam bahkan lima waktu tak pernah ia tinggalkan.
Baca juga: Sampaikan salamku angin
Semua kebutuhan tercukupi, hanya satu yang tak terpenuhi hingga setres berat mengguncang Pikiranya. Badai dan bencana menghampiri dengan orang yang di kenalnya di salah satu media sosial. Tidak lain, lelaki itu adalah tetangga di kampung tanah kelahirnya.
Pada suatu hari, ia melarikan diri dari rumah mertua dan rela meninggalkan anaknya yang masih polos dan Lugu.
" aku pamit ke jakarta dulubya buk? Anak ku sayang, jaga diri baik-baik ya nak, ibu akan mengajak ayah pulang. Jangan nakan sama simbah ya? Di sekolah juga jangan nakal "
Tetesan air mata di hadapan sang anak serta mertua melepas kepergianya setelah mencium tangan mertua perempuan. Kecupan kening terhadap sang anak membuatnya pilu dan terharu.
Dunia berkata lain
Di tengah perjalanan dengan transportasi Bus yang ia tumpangi, tiket Ke Ibukota Jakarta sebagai Alibi mertua ia buang dari jendela, sibuk dengan jari dan senyum layaknya muda bahagia, seakan Dunia milik mereka berdua.
Liar, Buas dan tak terarah hingga lupa akan segalanya ia tempuh dengan gembira bahagia. Hidup seakan milik berdua, bahkan yang di Jakarta sang suami pula bebas menentuka siapa orang di setiap malamnya.
Terpecah belah melewati retak, kabar dari sang anak buah warung memberi kabar kepada bos perempuanya yang di kampung. Dia yang memulai dan belum ada yang mengakhiri di antara mereka berdua.
Lambat bulan nerganti tahun, terbongkar oleh sang mertua. Mereka sepakat untuk berpisah. Hanya saja tidak di perbolehkan sering menengok cucunya yang termasuk anak kandung sendiri.
2 Tahun kemudian
Tiada hari tanpa heppy, job sebagai biduan kelas kampung memadati tanggalan di balik ambang almari Rias kamar tidurnya. Tak kenal siang panas atau hujan menerobos gelapnya malam ia terima sebagai pekerjaan inti yang sekarang ia geluti.
Berbagai nama Crew dangdut siapa yang tek kenal dirinya di desa yang ia tempat tinggali, penyanyi baru dan bermental baja banyak lelaki yang ingin mendekatinya dan memilikinya.
Semua orang tau, bahawa ia adalah milik tukang Kyboard "organ tunggal" salah satu Crew dangdut kelas kapung tetangga desanya. Terkadang crew tempat lain juga dapat memilikinya secara diam-diam dari belakang. Siapa yang membawa dia yang memiliki walau hanya semenit tak terlewatkan karena kesempatan.
Dunia tak semulus sehelai rambut
Sayangnya mereka semua lelaki takut istri, jika menengok di belakangnya yang sudah banyak beban tanggung jawab anak-anaknya butuh biaya sekolah terkadang di lupakan karena sesaat.
Sempat bersi tegang beberapa rumah tangga lelaki terjadj Sidang warga dan beberapa istri, nanun masih membuatnya belum jera.
Tak kenal sungkan, tak kenal siapa dia meski teman dekat, "Riven" terpecah belah pertemanan di antara beberapa Crew dangdut lantaran biduan baru bersuara Kaleng Berkarat. Saling berebut, saling mendahului, bersaing ingin menjadi pengemudi bidadari biduan kelas kampung itu.
Lambat hari berganti bulan job semakin sepi, tak satupun yang di kenalnya lagi untuk memberi job sebagai biduan di kelas Resepsi. Pemasukan untuk kebutuhan semakin menipis. Tiada hari mencari mangsa, mencuri perhatian lelaki biasa yang ia akan di kenal lebih akrab.
Nasib masih masih memberinya madu di tangan kanan, di suatu sisi racun di tangan kiri. Hubunganya tidak langgeng pula karena hanya sebatas teman dekat dia kata kepada tetangga. Lantaran mobil mewahnya ia tergiur untuk selalu mengantarnya kemana setiap ia suntuk di rumah.
"Habis manis sepah di buang", Tak lama kemudian di tinggalkan oleh lelaki lugu terkenal penipu cinta yang termasuk tetangganya itu. Di sisi lain mendapat berkah dari rekanya sebagai Relasi berkerja ke luar negeri.
Baca juga : Menanti Bulan Syawal
Semakin hari semakin kurus dan tak terurus hidupnya. Keputusan terhair untuk menjadi tenaga kerja wanita di Hongkong (TKW) ia jalani saat pendidikan di salah satu lembaga Tenaga kerja Luar Negeri.
6 Bulan kemudian
Setelah melewati proses Pendidikan tata cara dan bahasa ia pamit kepada tetangga di sekitarnya. Beruntung lebih cepat dari rekan seperjuangannya yang belum mendapat job di negara Hongkong. Hari itu pula ia angkat kaki meninggalkan Republik indonesia menjadi Pahlawan Devisa.
Saat itu pula ia mendapat julukan "Ulat Hongkong" yang memberi gelar para lelaki yang tidak kesampaian mendekati ketika masih menjadi biduan amatir.
Waktu tak terbelit keinginan dan harapan, istri selalu di tinggal sendirian tengah malam hingga fajar tiba, "katakanlah seorang bos warung makan pecel lele"
Kekayaanya sudah tak lagi di ragukan, bahkan tak pernah kalah saing dengan tetangga kampung ketika mudik Lebaran layaknya festival toko Mas berjalan, maklum hampir semua wanita sama jika mampu.
Lebih dari lima gelang di tangan menghias cincin jemari kanan kiri. Tak kalah berat lehernya terlilit rantai Mas berkarat seakan mencekik leher karena kemurnian perhiasan mas asli, silau di hadapan Persainganya.
Sayangnya, biji kacang menumbuhkan tunas berumur lima tahun di kampung halaman bersama orang tuanya "mertua" di jawa. Saking sayangnya cucu satu-satunya yang di hasilkan dari pernikahan 6 tahun terahir harus jauh dengan orang tuanya di Jakart karena masa depan dalam segi Ekonomi, dan mertua mendukung untuk tunggal di kampung saja.
Baca juga: Langit tak memandang hina
Jauh dari anak, jauh dari Rizki bahagia meliputi kenyamanan. Hidup serasa tiada arti kekayaan yang di hasilkan tak sebanding dengan kebahagian dalam berumah tangga.
Berangkat dini hari, pulang sore hari. Itulah bos laki-laki yang di sapa dari kelima anak buahnya dari warung induk dan cabang di salah satu pinggir jalan kota Jakarta.
Lambat bulan berganti bulan lama-lama terbelenggu Jemu, satu atap dua pemikiran. Sang lelaki hanya membutuhkan ketika butuh dan memberi uang belanja kepada sang istri tidak lebih dan tidak kurang di setiap minggunya.
Suntuk, bosan, bahkan tidak mendapat kepuasan bahagia dari sang suami. Kebahagiaan hanya terukur oleh kekayaan namun tak bersanding anak perempuan satu-satunya termasuk bagian masa depan. Sibuk dengan kesibukanya menggali menumpuk harata hingga lupa akan kasih sayang terhadap anak.
Hari ketika itu, permintaan dari hari berganti tahun selalu di tolak oleh sang suami. Hingga nekat keputusan bulat sang perempuan pulang kampung halaman mertua untuk menemui anak tercintanya.
" Jika anak kita satu-satunya masih tidak di perbolehkan sekolah di jakarta, aku akan pulang kampung hidup di rumah bersamanya ". Tegas sang istri.
" Kebetulan, silahkan jika itu mau mu!! Jangan memikirkan bulanan, semua aku cukupi ", saut sang sumai dengan cetus.
1 Tahun kemudian
Hiruk pikuk angin malam di musim kemarau menjemput tumbuhnya manggar buah mangga yang terkenal asam, manis dan kecut jika di makan. Dengan leluasa tanda kendali layaknya kuda tanpa kusir.
Mereka sama-sama bebas, hidup seperti tiada beban dan tanggung jawab sebagi mana mestinya berumah tangga. Asam manis kecut yang di rasa sang istri tidak mampu menembus kesabaran sesungguhnya.
Baju baru, perhiasan baru, bahkan sedikit tak ada yang kurang semasa hidupnya di kampung halaman mertua sembari merawat anak perempuan satu satunya yang duduk di bangku Taman kanak-kanak.
Namun, jauh dari suami yang tak mampu menyelimuti ketika dingin di malam hari membuatnya linglung di setiap detik. Sesekali melakukan Sholat malam bahkan lima waktu tak pernah ia tinggalkan.
Baca juga: Sampaikan salamku angin
Semua kebutuhan tercukupi, hanya satu yang tak terpenuhi hingga setres berat mengguncang Pikiranya. Badai dan bencana menghampiri dengan orang yang di kenalnya di salah satu media sosial. Tidak lain, lelaki itu adalah tetangga di kampung tanah kelahirnya.
Pada suatu hari, ia melarikan diri dari rumah mertua dan rela meninggalkan anaknya yang masih polos dan Lugu.
" aku pamit ke jakarta dulubya buk? Anak ku sayang, jaga diri baik-baik ya nak, ibu akan mengajak ayah pulang. Jangan nakan sama simbah ya? Di sekolah juga jangan nakal "
Tetesan air mata di hadapan sang anak serta mertua melepas kepergianya setelah mencium tangan mertua perempuan. Kecupan kening terhadap sang anak membuatnya pilu dan terharu.
Dunia berkata lain
Di tengah perjalanan dengan transportasi Bus yang ia tumpangi, tiket Ke Ibukota Jakarta sebagai Alibi mertua ia buang dari jendela, sibuk dengan jari dan senyum layaknya muda bahagia, seakan Dunia milik mereka berdua.
Liar, Buas dan tak terarah hingga lupa akan segalanya ia tempuh dengan gembira bahagia. Hidup seakan milik berdua, bahkan yang di Jakarta sang suami pula bebas menentuka siapa orang di setiap malamnya.
Terpecah belah melewati retak, kabar dari sang anak buah warung memberi kabar kepada bos perempuanya yang di kampung. Dia yang memulai dan belum ada yang mengakhiri di antara mereka berdua.
Lambat bulan nerganti tahun, terbongkar oleh sang mertua. Mereka sepakat untuk berpisah. Hanya saja tidak di perbolehkan sering menengok cucunya yang termasuk anak kandung sendiri.
2 Tahun kemudian
Tiada hari tanpa heppy, job sebagai biduan kelas kampung memadati tanggalan di balik ambang almari Rias kamar tidurnya. Tak kenal siang panas atau hujan menerobos gelapnya malam ia terima sebagai pekerjaan inti yang sekarang ia geluti.
Berbagai nama Crew dangdut siapa yang tek kenal dirinya di desa yang ia tempat tinggali, penyanyi baru dan bermental baja banyak lelaki yang ingin mendekatinya dan memilikinya.
Semua orang tau, bahawa ia adalah milik tukang Kyboard "organ tunggal" salah satu Crew dangdut kelas kapung tetangga desanya. Terkadang crew tempat lain juga dapat memilikinya secara diam-diam dari belakang. Siapa yang membawa dia yang memiliki walau hanya semenit tak terlewatkan karena kesempatan.
Dunia tak semulus sehelai rambut
Sayangnya mereka semua lelaki takut istri, jika menengok di belakangnya yang sudah banyak beban tanggung jawab anak-anaknya butuh biaya sekolah terkadang di lupakan karena sesaat.
Sempat bersi tegang beberapa rumah tangga lelaki terjadj Sidang warga dan beberapa istri, nanun masih membuatnya belum jera.
Tak kenal sungkan, tak kenal siapa dia meski teman dekat, "Riven" terpecah belah pertemanan di antara beberapa Crew dangdut lantaran biduan baru bersuara Kaleng Berkarat. Saling berebut, saling mendahului, bersaing ingin menjadi pengemudi bidadari biduan kelas kampung itu.
Lambat hari berganti bulan job semakin sepi, tak satupun yang di kenalnya lagi untuk memberi job sebagai biduan di kelas Resepsi. Pemasukan untuk kebutuhan semakin menipis. Tiada hari mencari mangsa, mencuri perhatian lelaki biasa yang ia akan di kenal lebih akrab.
Nasib masih masih memberinya madu di tangan kanan, di suatu sisi racun di tangan kiri. Hubunganya tidak langgeng pula karena hanya sebatas teman dekat dia kata kepada tetangga. Lantaran mobil mewahnya ia tergiur untuk selalu mengantarnya kemana setiap ia suntuk di rumah.
"Habis manis sepah di buang", Tak lama kemudian di tinggalkan oleh lelaki lugu terkenal penipu cinta yang termasuk tetangganya itu. Di sisi lain mendapat berkah dari rekanya sebagai Relasi berkerja ke luar negeri.
Baca juga : Menanti Bulan Syawal
Semakin hari semakin kurus dan tak terurus hidupnya. Keputusan terhair untuk menjadi tenaga kerja wanita di Hongkong (TKW) ia jalani saat pendidikan di salah satu lembaga Tenaga kerja Luar Negeri.
6 Bulan kemudian
Setelah melewati proses Pendidikan tata cara dan bahasa ia pamit kepada tetangga di sekitarnya. Beruntung lebih cepat dari rekan seperjuangannya yang belum mendapat job di negara Hongkong. Hari itu pula ia angkat kaki meninggalkan Republik indonesia menjadi Pahlawan Devisa.
Saat itu pula ia mendapat julukan "Ulat Hongkong" yang memberi gelar para lelaki yang tidak kesampaian mendekati ketika masih menjadi biduan amatir.