Jangan Pernah Janji Dengan Orang Sudah Meninggal

Jangan Ingkar Janji - Pernahkah anda mempunyai Nadzar atau janji dengan orang yang sudah meninggal. Satu juta orang kemungkinan 1 orang yang pernah mengucap kepada orang yang sudah lama meninggal.

Problem ini sering kali terjadi ketika masa keterpurukan menimpa dirinya, Hamparan Do'a selaku di panjatkan  entah di mana tempat. Tidak hanya di rumah, tempat Suci atau bahkan di tempat Makan anggota keluarganya.

Tidak ada orang lain tanpa terkecuali keluarga termasuk nenek moyang, ini yang sering terjadi. Sebagai manusia biasa jelas kita tidak tau bagai mana kehidupan di Alam sana.

Jika kita rasakan Apa yang sedang di pikirkan oleh salah satu hewan di depan kita, sudah menggambarkan tidak akan berjumpa naluri masuk akal seperti kita.

Kejadian nyata sudah di Alami Keluarga Rekan kami.

Masa kejayaan selama 5 tahun dari tahun 2008 hingga 2012 sudah jelas kami gambarkan naiknya daun Derajat Duniawi. Siapa yang tak kenal rekan kami yang satu ini. Royalitas terhadap Keluarganya, Rekan-rekan, tetangga, bahkan orang yang tak di kenal seklipun di negrei sebrang ikut menikmati kesuksesan.

Roda jelas berputar, jika tidak berputar tentu bukan namnya Roda melainkan arca.

Saat itu pula, detik-detik keterpurukan di awali dari masalah kesehatan. Nasip memutar mentalitas hingga terpuruk ke dasar seperti semula. Jangnkan mental baja yang di dapat dari kesuksesan sebelumya, mental beton tiyang baja Tol sudah tertanam saja dapat rapuh termakan zaman.

Hidupnya menyedihkan hingga di jalani selama 3 tahun dari 2014 hingga 2017. Tahun 2013 pelan perlahan menyusut kering meronta seperti di gurun pasir.

Sejak 2014 hingga saat ini, ia menetap di kampung halaman bersama bapak dan ibunda tercinta. Walau sudah mengalami naik daun seperti sedia kala, nan lupa akan janji yang pernah ia temui ketika bangkit perlahan pelan.

Dalam niat tekat untuk bangkit sangat sempurna di banding rekan yang lain di sekeliling orang terdekatnya. Bagi kami ia adalah istimewa.

Sebenarnya, tidak di katakan ingkar janji. Namun janji yang perah ia sampaikan sudah lama bahwa ia mampu memenuhi, hanya saja selalu ia tahan sebentar dan sebentar lagi hingga waktu tak terkendali dari nafsu duniawi.

Saat terahir

Baru beberapa malam kami menghindari dari tempat-tempat sakral di dekat kampung kami. Niat kami menyendiri, untuk berfikir jernih agar mendapat petunjuk Sang Ilahi. Justru malah sebaliknya yang kami dapat, banyak orang susah berkumpul di sebuah gunung yang di bilang keramat namun kenyataan penuh orang hayalan tinggi.

Hampir setiap malam kami selalu berkunjung ke tempat itu, bukan petunjuk yang kami dapat, tidak ada kata lain yamg berisi hanyalah mulut kempross dari berbagai pendatang. Walau hanya 1 hingga 2 orang murni akan tetapi juga belum pernah kami temui.

Hampir setiap malam kurang lebih selama 1 tahun kami sealalu bersama, 1 hingga 2 hari paling maksimal tak berjumpa, itu bukan sama sekali di sengaja melainkan kesibukan kerja seorang frelance.

Sepertiga malam, baru saja kami tidur setelah berbincang di halaman rumah, ia sudah nampak tidur pulas.  Jubah hitang berjenggot panjang menghampiri dalam mimpi tidurnya.

"pergilah ke barat situ!! Jika kamu ingin hidup enak" bisik seorang kakek dalam mimpi. Sekilas ia bangun, dan membangunkan kami. Ia menceritanakan semua pembicaraan itu tanpa ada yang di kurangi.

Banyak pertanyaan antara jakarta atau di mana peribahasa "Barat" tersebut.

Setelah diam sejenak, ia baru berfikir bahwa kakek itu mirip kakeknya yang meninggal puluhan tahun silam. Ia yakin dan seribu yakin untuk segera menceritakanya kepada sang ibu dari ciri-ciri yang di dapatnya.

Hari itu juga, tekat bulat untuk mengirim Do'a ke makam sang kakek ia laksankan tepat di sore hari.


5 bulan kemudian

Hampir 1 tahun ia dekat dengan seorang wanita yang akan di nikahinya. Secepat itu ia menikahi gadis dari desa sebrang kampung. Genap perhitungan dari pernikahannya 5 bulan di karunai seorang buah hati yang ia harapkan selama ini.

Apa yang menjadi harapan bangkit dalam keterpurukan Finansial dari ekonomi yang sangat tinggi.

Hari berganti hari kebutuhan tak selalu mencukupi semenjak kedatangan buah hati. Pengeluaran 1 kilogram susu untuk sang anak hanya satu minggu ludes seiring pertumbuhan. untuk dapat memiliki stook 1 minggu ia harus kerja exstra lebih keras membanting tulang.

1 tahun kemudian

Begitu cepat salju turun di hamparan tanah tak bertuan. Bapak mertua sang tercinta pergi selama lamanya ke pangkuan illahi. Sedikit pun ia sama sekali tak memiliki skil untuk berwirausaha warung makan. Tekat bulat untuk meneruska dan melebarkan sayap Bisnis yang di tekuni Mertu puluhan tahun itu menjadi keyakinanya untuk pondasi bangkit sukses dari keterpurukanya.

Tekat bulat penuh keyakinan, menuju jalan penuh hambatan yang terlalu curam meliputi keuangan. Rambut hitam transmigran menuju uban layaknya reruntuhan bunga jambu satu pohon.

Meski begitu jalan cepat bukan seorang penjilat, semua kembali rukun setelah retak bukan pecah antar kluarga dan keluarga.

Pelan dan pasti semua sudah di miliki apa yang ia harapakan. Bahakan keinginan serba keturutan, terpandang dan berwibawa.

Namun perjalanan bukan kebebasan namun adanya jalan juga perlu di perhatikan, seakan di ingatkan dari bisikan apa yang pernah di ucap ketika di makam saat terbelenggu keterpurukan saat itu. Sebenarnya ingat, namun ambisi duniawi seakan menghapus perlahan dan akan menjadi bomerang diri sendiri.

Sudah waktunya,

Anak yatim yang krisis jati diri sesungguhnya ingat sebagai posisi siapa sesungguhnya dirinya dan meninggalkan foya-foya justru menjadi santapan nikmat paginya, tidak ada yang di benarkan sama sekali. Gali lobang tutup jurang manusia gentayangan di sekelikingnya juga mendekat seperti mahgnetik kutup utara selatan, dan lebih memperihatinkan kehidupanya.

Hari ketika itu, satu persatu terkena angin lesus di mualai dari ia sendiri, istri, anak, ibu kandung, dan bapak kandung sempat di rawat di rumah sakit dengan nasip putus asa.

Jangankan untuk bangun dari berbaring tempat tidur, ingatan saja sudah sembilan puluh sembilan di bawah alam sadar.

"aku tidak rela jika bapak pergi selamanya, ini tidak mungkin" bisiknya amat lirih terurai air mata.

Dunia belum berahir, satu Rumah sakit dua pintu berjajar hadapan menjadi saksi bisu ayah dan ibu tercinta berbaring tak berdaya. Terpaksa, Mendengar suami tercinta tak berdaya sang ibu berusaha membangunkan diri dadi berbaring lesunya dan mendekat ke suami.

"Tiga hari yang lalu, bapak kamu bermimpi terbangun seperti kenyataan samapi kami terbangun. Ia cerita bahwa seorang kakek berjubah hitam membawa tongkat menagih Candi". Ujar sang ibu kepada anaknya di hadapan bapak sambil mengusap tangan.

Ia baru sadar, bahwa ini semua karna janjinya saat di lokasi makam keramat yang pernah di ucapkan tempo itu. Sehari semalam kedua orang tua di rawat di rumah sakit seperti hidup tiada arti walau kipu materi.

Saat itu juga ia bergerak lebih cepat, datang kemakam menabur do'a dan bunga seribu maaf dan memohon ampun. Labtas datang ke pengerajin candi sebagai simbol orang meninggal pun juga sudah di pesan untuk segera di kirim.

Kondisi sang bapak yang semakin kritis membuat suasana semakin terharu. Meskipun candi belum terbangun yang masih menunggu hari pemesana jatuh tempo jadi seperti sudah terlambat.

Tuhan belum menghendaki

Meskipun sudah kami nyatakan tidak tertolong dalam perjalanan pindah ke Rumah sakit, saat itu juga Muzijat Sang Pencipta datang. Mata terbuka perlahan, dan mulut terbuka bicara lirih. Lontaran kata pertanyaan Beliau jawab dengan seperti biasa.

Sirene ambulane yang telah menjadi saksi bisu belum samapai rumah sakit yang di tuju beliau sudah sadarkan diri. Isak tangis sang istri tercinta yang menahan seribu sakit dalam raga kembali tersenyum melihat kondisi suami sudah sadarkan diri.

Sesampai di rumah sakit jauh dari ketegangan di sambut pelayanan amat ramah dan santun. Di Rumah sakit Nirmala itulah beliau dirawat sampai benar-benar sembuh hingga dapat pulang dengan kabar gembira untuk kerabat dan tetangga.

Candi yang menjadi gelora kehidupan keluarganya bahkan sudah di persiapkan untuk di pasang. Empat candi di antaranya Kakek, nenek, kakak pertama, dan adiknya. Selang satu hari semua agenda berjalan sesuai rencana.

Walau waktu terpecah menjadi dua lebih exstra antara mertua dan keluarga ayah/ibu, bolak balik mondar mandir sedikit waktunya begitu berharga. Adanya kakak kandung di rumah sudah tak bermanusiawi akal sehatnya, untuk tampil merawat orang tua saja sangt tipis. Bagai mana tidak seperti patung gladak, sapa menyaap orang tua dan adik tingal satu atap bahkan tidak pernah, apa lagi mengharap gotongroyong.

Meskipun itu perlahan terlalui Dan kini kehidupan menjadi kembali ke pengturan awal, segala aktifitas dan rutinitas seperti sedia kala.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »