Menanti Bulan Syawal

Bulan syawal - Bukan penari yang tersohor atau handal di kelas pentas seni tingkat kecamatan atau nasional, melainkan penari khas campursari kelas kampung. raut wajah Sengit nampak ketika memasuki bulan Suro dan bulan puasa, dimana hari yang di tunggu-tunggu tak seperti bulan syawal sibuk di depan cermin.

"Katakanlah biduan amatir"

Siang malam hal biasa setiap pulang melingkari tanggalan yang terpajang di samping almari kamar, jika sang pemimpin lupa meberi amplop tak terselip di tas mini yang menjadi andalan ngamen hingga ke manca negara desa pelosok perkampungan. "naik gunung turun gunung, menyusuri lembah layaknya ninja hattori".

Walau bukan ahli pijat urat saraf dari tangan-tanganya yang handal para seniman, tangan itu serasa ingin di garuk sembari menanti padatnya job di bulan syawal. barangkali mau jujur, hati kecil mereka sebagian Rindu dengan alis bulan sabit, bedak dan lipstic di wajah biduan katimbang wajah sang istri yang sah.

"Hak e.. Hak e.." , tanpa tepuk tangan seperti gelar "wirosuworo" crew mereka juga sibuk ambil alih menjadi tukang batu. sesekali tepuk tangan hanya kebetulan mendengar radio dari tetangganya. hanya saja rasa panik ketika di ladang sawah sepi  sampingan.

"masih enak, hak e.. hak e.. tepuk-tepuk tangan, badan bersih, tidak panas kehujanan, makan enak, amplop 80. hmmmm.... , di bank (bangunan) Rp 70 saja kotor". 

Terkena penyakit timbil, mata buram sebelah hingga berhari-hari sudah hal biasa.

Kusut senyum kecut, sepadan dengan bau keringat "pating slenting", sama seperti yang di alami para entertaimen crew vidio shoting ketika selesai acara malam.

Walau mereka pulang dengan tangan kosong selalu menulis di catatan salopun Androidnya, itulah sang pahlawan shoting juga tak kalah canggih dengan biduan amatir yang sok canggih sebenarnya Gaptek akhirnya tanggalan menjadi sasaran pena dari lipsticnya.

menanti bulan syawal

Era tahun 70 hingga 90, sesepuh dokumentasi foto metode klis jawara dunia di tahunya. walau di anggap jadul oleh para kaum netizan/warganet saat ini, kodak foto versi klis adalah pahlawan dokumentasi pertama di indonesia.

Seperti bayi tabung siang malam tak pernah mengirup udara segar, siapa lagi kalau bukan camera foto dan camera vidio di etalase berlampu kuning 5 watt itu. kesabaranya menunggu bulan syawal tidak akan sia-sia melirik wajah-wajah cantik penunggu peti amplop, among tamu, bahkan hingga ke dapur masak.

Penantian sang foto grafer dan crew shoting tak kalah trik cameranya sebagai pahlawan dokumentasi, yang akan di kenang sepanjang waktu hingga turun temurun pemilik hajatan.

Ngenesnya, Terkadang crew shoting dan tukang foto sering kali terlantar makan dan minum. padahal mereka adalah pahlawan dokumentasi meninggalkan kenangan sepanjang masa, akan tetapi hampir semua penghuni hajatan lebih condong ke biduan dan clup musik untuk lebih menaruh perhatian dan selalu di perhatikan. "sudah biasa".

Tak kalah andil

Sayu layu ratusan bunga-bunga sebagi penghias dekorasi, wajar jika bunga asli itu menanti air di pagi maupun sore hari. lain halnya bunga palsu dari plastik yang tergulung suntuk di dalam karung goni tak pernah pergi selama satu bulan di pojok dinding ruangan itu.

Canda tawa seekor rayap dan renget seakan meledek pemilik sembari membersihkan sarang laba-laba, maklum dekor yang terbuat dari kayu jati hanya sebagian saja, lain bagian tercampur kayu akasia dan mahoni yang terbalut plitur, itulah seninya tukang kayu.

Terkadang jemu memandang peti Rias pengantin hampir sebulan penuh tak terbuka olehnya, "sepi bu de, buat risa sendiri saja kalau mau trawih".

Bukan sok cantik, namun sudah bawaan lahir syantik perias itu. jangan heran jika sebagian wajah keriput membawa karyawan salon untuk menutup kemungkinan agar tertarik dari mulut ke mulut.

Walau bukan resmi kelulusan institut sekolah tinggi seni, tiada hari tanpa berlatih suara seperti dalang kondang manca negara. suaranya merdu, pakaem, dan sangat merdu ketika uji coba dalang sembari mencari rumput untuk ternaknya.

Kepadatan menanti ramainya sumbangan, para kaum pemuda berpakaian resmi menyebarkan undangan. serasa tidak ingin mendadak untuk memulai dan menanti bahwa para perantauan mumpung masih di rumah sebelum mereka budal ke rantau kembali, itulah harapan ia dan tetangga.

Sudah menjadi sebuah tradisi sebagian jawa, "dimana ada lampu terang, di situ ramai wedang" , tak sedikit mempersiapan teh dan gula untuk mereka yang suka begadang dengan sebuah ubin berwarna warni yang menjadi tradisi kampung.

Jauh angannya mempersiapan diri di sebuah pelaminan, bayang-bayangnya seiring detak jantung. takut, gugup, malu, sungkan, bagai mana pun juga tetap jabat tangan dengan bapak penghulu KUA.

Tekadang sibuk membenahi kabel instalasi, setelah melalui berhari-hari saatnya uji coba sound sistem layaknya di acara seperti biasa, saat itu tak seperti biasa karena tetangganya sakit keras.

"Oooeee......!! pelan-pelan dul.., mbah ku lorooo...."

Jangan heran hari pertama keluar lebih lama memakan waktu untuk uji coba sound, "tes..tes..tes tes tes... 1 2 3.. di coba" jika lancar tak jadi kendala, maklum terkadang tersendat sebuah hal biasa dan itu bukan sebuah kutukan danyang.

Jangan heran jika senyuman meraka menuai persahabatan yang erat "Alhamdhulillah",  di bulan Muharam (suro) atau Puasa dapat berkumpul kembali walau sehari entah semalam di acara jagong bayi, terkadang sama sekali tidak ada. itulah para Penanti Bulan Syawal.

Baca juga: Sampaikan salamku Angin

Perhatian:
Cerita ini hanya sebuah hiburan yang bersumber dari kisah pekerjaan para sahabat yang di mana menggeluti dalam bidangnya tersendiri, tidak bermaksut untuk merendahakan suatu pekerjaan. jika ada cerita kesamaan hanya sebuah kebetulan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »