Kakek merindukan sahabat kecilku

Hampir sepekan, aku tak melihat sepeda kecil yang penuh karat itu. warna cat sudah tak lagi terbentuk semula aslinya dari pabrik, terkadang aku merindukan tawanya yang khas dari gigi ompong tengahnya itu.

Kemauannya mungkin sama sepertiku, tambah umur sepeda juga tambah besar dari ukuran tubuh. Tapi dia tidak, tubuh kecilnya lebih mini dari sepedanya. Wajar saja karena ekonomi orang tuanya jauh lebih berbeda dari kami dan, ini bukan sebuah perbedaan di mata persahabatan.

Dia teman sekelasku, bahkan sebangku hanya lain kursi tempat duduk. meja itu sudah tak lagi bersih karena jari-jarinya yang usil bermain pena.

Terkadang, keringat bercucuran di wajah ibu guru melenyapkan polesan bedak yang semula mengelabui kulit hitam manisnya, siapa lagi kalau bukan wali kelas 3 SD Negeri 1 Brebes Mili itu ketika pelajaran di mulai kami wangkal.

Beruntung sekolahan itu masih berdiri hingga saat ini, dimana calon murid kelas 1 sempat mengalami krisis di tahun kemarin hampir nyaris tak ada murid, namun berkat perjuangan bapak dan ibu guru kami tertolong dan sekolah itu masih berlanjut.

Ini semua karena warga sekitar yang berlagak sok intelek, bukan menolong pendidikan sekolah di sekitar mereka malah asyik membawa anak-anaknya migrasi ke sekolah di tingkat kecamatan, jika memang tingkat SMP atau SMA itu hal wajar dan kami tak mengusap dada karena memang kedua sekolah itu jauh di sana.

Bahkan, lebih pekoknya mereka sebagian berbondong-bondong membawa anaknya untuk sekolah di perantauan sana katimbang di kampung, kebanggaan mereka di atas penderitaan sekolah yang nyaris di tutup.

Kakek merindukan sahabat kecilku
Anak sekecil itu

Pagi itu..

Ketika surat izin mendahului duduk di meja guru, akulah yang pertama membaca tulisan sebelum di baca ibu guru. Maklum, cara ku membaca tak sefasih mereka yang duduk di bangku SMA, satu persatu huruf abjad terangaki masih saja tidak mampu mengartikan isi surat itu. "sakit" hanya itu yang aku ingat.

Sore itu, salah seorang tetangganya menceritakan di toko kelontong milik kakek, bahwa abi di rumah sakit menjalani perawatan sakit lambung yang cukup serius.

"pantas saja, hampir satu minggu tidak main ke sini".  Ujar kakek.

Kakek mengatakan sesuatu ke padaku, bahwa Abi di rumah sakit hampir satu minggu. Kabar itu memang lambat tak secepat golongan orang kaya, sedang kan Abi golongan rendah hingga tetangganya saja tak tau kondisi sekarang.

Mereka semua sebagai tetangga saja hanya rencana tertunda-tunda untuk menjenguk hingga hari demi hari, setiap berjumpa tetangganya mereka jawab "tidak tau", kakek pun tak mendapat kabar yang akurat seperti apa kondisi anak itu saat di rumah sakit. Bahakan, renacana malam hari kakek mau menjenguk kerumah sakit tanpa ruang alamat yang jelas.

Hari itu juga, gelap malam melintang bintang usai bakdha Maghrib kabar duka Abi meninggal dunia di rumah sakit umum daerah Surakarta. niat kakek pupus di tengah jalan yang hendak berangakat menuju rumah sakit.

"Setiap hari, Entah itu siang atau sore, ia selalu menemani cucuku makan. Walau hanya itu sangat berharga bagiku". bisik kakek yang setia merindukan itu semua. Kerinduan sang kakaek Karena ia aku menjadi semangat makan.

Dari mulut ke mulut, bahwa Abi sempat mengalami operasi pada bagian usus. bukan halnya usus buntu, akan tetapi pada bagian usus melekat dan itu di sebabkan karena telat makan dan sering mengkonsusmsi mie instan kata Dokter. memang benar, semasa Abi masih hidup dari kecil sudah akrab dengan mie instan sebagai makanan kesukaannya.

"Aku hanya bisa berDo'a Sahabat Kecilku"

Semoga enkau pulang di sisi Allah SWT dengan qusnul qotimah, Bunga yang harum seperti namamu, aku dan kakek selalu mengenang kebaikanmu Abi.

Kami semua datang, bapak dan ibu guru semua mengantar ke peristirahatan terahirmu, semoga kau tenang di sana.

Baca juga: Fakta gunung Taruwongso di malam jum'at

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »