Lidah tak bertulang, hati jerih karunia ilahi

lidah tak bertulang namun hati jernih adalah karunia sang ilahi

Sesungguhnya beliau adalah seorang muslim yang ternama di desa itu, kekayaanya sudah tak lagi di ragukan oleh masyarakat. banyak orang bilang ia adalah seorang juragan ayam petelor, dimana telor-telor yang cacat selalu ia jual murah kepada tetangganya untuk lauk pauk. andai berkecimpung dalam urusan ladang sawah, itu hanya sebuah pemanis kehidupan di kampung. 

Sopan santun dan keramahanya membuat banyak orang terkagum. Hampir setiap hari, ketika adzan berkumandang selalu melaksanakan sholat di masjid secara berjama'ah. bagai mana tidak tidak kagum, jika ia keluar dari rumah tak satu pun mereka sapa walau di sampingnya, malah sebaliknya siapa yang bersimpangan atau berhadapan denganya selalu menyapanya terlebih dahulu. 

Merundukan kepala, tatapan wajahnya kedepan, lirikan matanya sesekali saja hampir tak pernah menoleh kekanan atau kekiri tak pernah kudapati ketika berjalan dengan sepeda atau pun motor, ciri khasnya lain dari pada yang lain. 

Lain lagi yang perempuan, keramahan di balik jilbabnya menyimpan senyuman yang abadi. sapa saling sapa tidak hanya kaum dewasa atau orang tua melainkan anak-anak kecil juga mendapat keramahan. namun entahlah di kehidupan keluwarga rumah tangganya damai tentram sejahtera atau pun sebaliknya kami menilai dari sudut lebih condong ke damai.

Lidah tak bertulang, hati jerih karunia ilahi

Hari ketika itu, kabar semakin menyebar luas ke berbagai belahan desa begitu cepat. kalimat-kalimat yang di ucapkan warga sekitar tidak bisa di jelaskan dengan nominal keakuratan. sempat menjadi trending topik masyarakat baik itu di setiap warung sayur, toko kelontong, warung makan, di setiap forum organisasi, bahkan di saat mampir sambil menghirup kopi di tempat teman saja selalu di ulas dan di perbincangkan. 

Beliau sempat koma masuk ICU di rumah sakit Islam selama tiga hari tak sadarkan diri, pada akhirnya disetiap masjid-masjid sekitar memberi warta bahwa beliau meninggal qusnul qotimah (inna'lillahi wa'inna illahi roqji'un). 

Ladang sawah di pinggir desa sudah tak lagi bersahabat awal mulanya, hampir satu bulan lebih burung pipit migrasi karena berpegang teguh dengan pendirianya demi bertahan hidup dan betah hinggap dikampung kami. 

Pagi, siang, bahkan hingga senja tiba teriakan di sawah seperti suporter bola maniadi berbagai penjuru. sang pemilik ladang di buat geram olehnya, dan lucunya burung pipit tak kalah cerdik yang selalu bersesembunyi di balik jerami demi satu dua biji padi, oleh karena itu pemilik sawah sebenarnya takut kere hingga berebut butiran padi dengan burung pipit. 

Bukan sebuah katulistiwa melainkan pembatas lahan sawah yang menjadi pokok permasalahan, hingga pada akhirnya berujung ricuh saling adu mulut antara beliau dengan kakek tua pemilik ladang sampingya. 

"mata picak.. sudah tau jalan masih basah di injak-injak"

Apa yang di sampaikan beliau memang benar, fisik kakek yang seperti tokoh pewayangan sebagai gareng sudah jelas historynya. tangan ceko, mata kero, jalan saja tidak normal, bahkan lalu lalang kendara di jalan sering memotong jalan tenagah jika dalam keadaan berkendaraan sepeda mininya. 

Kakek yang semula menuai kritik burung pipit merasa sakit hati karena beliau menegur yang terlalu berlebihan, adu argumen tidak sampai hitungan menit "demi langit dan bumi" kakek bersumpah di hadapanya karena sebagai lebih tua darinya terlalu di rendahkan akibat pembatas jalan yang di benahi beliau tidak tau waktu dan posisi. 

"kuwalat koe.. wani ro wong tua, tanggung akibatnya"

Hakekat beliau adalah seorang pendiam tulen, dan tak kalah tulen kakek juga seorang pendiam walau bukan pribumi, akan tetapi ALLAHU'ALLAM seketika saat itu juga kakek bersumpah "karma berani sama orang tua" beliau jatuh pingsan dan menjadi bulan-bulanan warga di sekitar persawahan segera menolongnya. 

Lidah tak bertulang akan tetapi hati jernih adalah karunia sang ilahi. 

Walau beberapa orang geting melihat kejaidian dan berusaha menolong beliau, sang kakek malah sebaliknya berteriak lantang sembari tarik tambang dengan pocong sawah agar pipit pergi dari ladang padinya. lambat pelan langkah kakinya menjauh dari beliau yang jatuh pingsan. 

Hari demi hari beliau tak sadarkan diri berbaring di rumah sakit, hingga pada akhir cerita beliau wafat begitu tenang meninggalkan keluwarganya. 

Pesan penulis
Kutipan dari cerita fakta di atas semoga menjadi inspirasi hidup yang bermanfaat di kemudian hari bagi kita semua. banyak hikmah yang kita dapat dalam kehidan sehari hari lingkungan sekitar. mulut kita adalah masa depan hidup kita, baik itu positif maupun negatif pada all hasil akhirnya.

Baca juga: Fakta sebagai tempat curhat para sahabat

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »