cerpen: Rindu Tebal

Rindu tebal

Bapak seperti pahlawan pengabdi negara, andai saja itu benar terjadi. badanya tinggi, ideal, dan kumisnya mampu mengelabuhi orang lain ketika melihaatnya. tetangga banyak orang bilang, bapak seperti anggota TNI, bahkan menyerupai anggota polosi militer dari sisi rambutnya yang khas. 

Terlalu bermimpi tinggi, tanpa bekerja dan usaha yang pasti, hanya ambisi sukses menjadi pemburu harta karun dan bapak rela menghilangkan jejak keluarga kecil kami. sungguh nasib bapak, yang terlalu percaya kepada sahabat yang baru di kenalnya itu.

Namun entalah, hampir 5 tahun bapak tak kunjung pulang. jangankan kabar telepon, surat dari pak pos saja tak pernah ada untuk kami. andai saja bapak punya nomor telepon, celengan pasti aku bungkar dan mengajak ibu ke warte, jika rindu tebal menyelimuti kami.

Hanya aku yang selalu menemani ibu di rumah 6 x 9 ini, semangat 45 dari perkalian enam kali sembilan tanpa kehadiran bapak. semenjak adikku perempuan menikah, beban sudah sedikit ringan dan aku hanya bisa berdo'a dan berharap rumah tangganya sakinah, mawadah dan warohmah. 

Sedikitpun, aku tak mengingat bahkan merindukan bapak jika teringat orang ketiga itu muncul dalam lamunan ku. begitu terasa kasih sayang bapak lebih ke istri muda dan ke dua anaknya. kasih sayang kepada  kami bagaikan debu tertiup angin, terkadang ada terkadang tidak, kata adiku ketika menangis merindukan bapak.

Siang itu, ibu mengajaku melayatke slah seorang yang di kenalnya akrab. tempat tinggalnya tak begitu jauh dari tempat tinggal kami, 4 kilometer persis jika kita tempuh dengan google map. aku tak bertanya, namun ibu menjelaskan, konon lelaki itu adalah sahabatnya merantau di semarang bersama istri tercintanya.

Ibu juga menjelaskan, istri almarhum juga mengenalnya begitu akrab. semenjak mereka sudah ak lagi merantau, kami jarang silaturohmi. walalu satu tahun berjumpa satu kali saja, itu pun sangat jarang sekali bertemu.

Megah dan berlantai dua, dan sudah pasti mewah rumah itu. dari kejauhan jari telunjuk ibu mengarah ke rumah itu, tepat di kiri jalan kami. aku tak menyangka, ibu yang hanya seorang penjual sate ayam keliling, dan saat ini hanya buruh ke sawah. ternyata ibu mempunyai sahabat pembisnis, pengusaha toko kelontong yang ternama di antara sederetan jalan raya itu.

Hati kecilku berinstuisi, andai saja kedua orang tua ku pengusaha sepertinya, sudah pasti kami setiap hari berkumpul bersama. betapa bahagia terlalu kubayangkan. namun entahlah, nasip kembali berbicara seperti ini, dan ini sudah menjadi suratan orang ke dua tua ku.

Tangisan terhisak-hisak aku dapati dari raut wajah wanita itu ketika berjumpa dengan ibu, mungkin dia yang di maksut istri almarhum. gadis kecil itu menyalip pandangan ketika ku amati, duduk di belakang tangisan wanita kendati berpelukan erat. hidung nampak kemerahan, terselimuti kain hitam menutup rambut hitamnya, serasa ia tak rela atas kepergian bapak tercintanya, aku hanya berfikir, mungkin ini anaknya.

Betapa pilu nian sepi tanpa canda tawa bapak jikala ia rindu tebal, apakah ini yang di namakan nasip. sesuatu yang dapat di ungkapkan kepada setiap insan, namun tak dapat mereka rasakan seperti yang saya rasakan.

Sederetan berpakaian hitam para pelayat serentak berdiri, bukan regu kur, namun mengiring putih peti segera menuju lokasi pemakaman. tangisan histeris di berbagai titik membuat suasana terharu, mungkin mereka sanak saudara yang belum rela menerima kenyataan, hingga gadis kecil itu jatuh pingsan.

aku rindu kabar mu
dimana kah ayah ku
dimana kah batu itu
jika memang ini terjadi


rindu tebal

6 bulan kemudian

Taman gersang tiada hujan, tak sehelai pun mereka turun ke sawah. mereka menanti hujan di musim kemarau yang tak pasti penghujung tiba, sungguh malang nasip para petani, begitu juga para pekerja buruh seperti ibu ku.

Hanya jarum dan seutas benang putih bekas layang sabgai sahabat ibu di teras, dimana celana dan baju ku sobek, ibu selalu memperbaikinya. hari itu, selepas ku pulang dari masjid sholat dzuhur, ibu menyuruhku duduk sejenak di saping.

"pergilah ke timur pasar nak, entah laku berapa yang  penting kamu jual semua pehiasan ini."

"aku tidak mau kalau sendiri mak, aku tidak mau orang lain bahkan penjaga toko berprasangka buruk kepada ku nantinya, kalau dengan emak itu malah lebih baik."

Tiang bambu teras sebalah timur sudah tak mampu menolong kami lagi. ibu mengulang keinginanya untuk menjual perhiasan itu kembali, yang sebelumnya celengan ku di tiang bambu itu mengurungkan niat pertamanya.

"andai saja job tak seperti bulan-bulan ini, mungkin bisa menyambung hidup, tanpa harus menjual cicin dan kalung mak." kata hatiku.

Tuhan maha adil, tidak hanya kami yang terkena dampak pengangguran. bahakan diantara tetanga kami ada yang lebih memperihatinkan, peralatan rumah tangga mereka relakan demi menyambung hidup karena hewan ternak sudah pamit terlebih dahulu. saat itu benar-benar krisis dari dampak kemarau panjang.

Tak lama kemudian kami berangkat dengan mengendarai motor honda, satu-satunya motor butut yang kami miliki. besi tua ini memanglah antik, karena orang jepang menilai barang rongsok tahun 70-an masih beroprasi. jangankan orang jepang melirik, motor ini di pinggur jalan satu minggu saja tak ada pencuri yang mau meliriknya.

Dari sudut gelora sepak bola, nampak bergerumun orang. entah apa yang mereka lihat dan diskusikan. tiba di lokasi kamai sampai tak dapat berjalan, mereka bilang tabrak lari, di samping ku bilang jatuh sendiri, bahkan ada yang bilang tidak tau persis.

Rasa penasaran membuat kami turun dari motor untuk melihat kondisi, satu celah dari tempat berdirinya banyak orang membuat ku lebih jelas untuk melihat keadaan.

Gadis kecil itu mengenakan seragam sekolah sma, belum nampak sadarkan diri di atas pangkuan pak ustad. beliau masih berusaha membangunkan, namun tak kunjung sadar.

Sepertinya mereka tak ada yang mengenal gadis itu yang masih di pertanyakan anak siapa dan tempat tinggalnya di mana. wajahnya tak mampu mengelabuhi ku, bahwa ia anak pemilik toko itu.

Mungkin hanya ibu dan aku yang tau, gadis itu adalah anak sahabatnya yang pernah ku lihat ketika kami melayat pada waktu itu.

Ibu yang masih berdiri menunggu ku di samping motor, ingin segera aku kasih kabar lebih jelas. bahwa korban kecelakaan adalah anak sahabatnya.

Panik, bercampur kecemasan terjadi pada ibu setelah mendapat penjelasan dari ku. begitu kilat segera mendekat, ibu berusaha membangunkan, namun masih saja tak sadarkan diri.

Menuai pertanyaan mereka kepada ibu, kami tidak segan memperjelas asala usul dan domisili, dan kami sampaikan kepada mereka bahwa kami sangat mengenalnya. akhirnya kami mendapat pertolongan dari mereka untuk segera membawanya ke rumah sakit.

Lukanya tak sebanding dengan kerusakan motor, namun kekawatiran membuat kami risau. harapan kami semoga bagian tulang-tulang tidak terjadi fatal.

Hanya ibunya salah satu yang aku tuju membawa kabar, bahwa anak gadis tunggalnya di rumah sakit karena kecelakaan. fakta dari motor membuat kesaksian, kami hadapkan didepan tokonya.

2 hari kemudian

Sedikitpun aku tak bermimpi, bahkan rasa curiga pun sama sekali tidak melintas dalam benaku. setiap selesai pekerjaan rumah, ibu selalu menyempatka menjenguk gadis itu. berangkat pagi, terkadang pulang sore, entah ada niat apa sama sekali tak terpikirkan.

Aku tak melarangnya, karena hak dan keinginan ibu yang kuat ingin menjenguknya. walau sesekali saja, malam itu bersamaku, dan kabar gadis itu sudah muai sadar. walau pipinya memar dan kepala berbalut  perban, ia juga sudah bisa berbicara jelas ketika menuai pertanyaan.

Padang rembulan menghiasi cakarawala langit, rembulan tak pernah bohong, dan rembulan selalu jujur meski belum waktunya nampak selalu ada di hati.

Malam ini, ibu tak mengajak ku untuk menjenguk, melainkan mengungkap semua yang terjadi sesungguhnya keluarga kami. apa yang ibu ungkapkan sangatlah ilu, tetesan air matanya membuatku terharu. aku sempat tak percaya, hingga pada akhirnya air mata mampu menerima kenyataan bahwa kejujuran ibu memang keramat.

Ternyata dunia berkata lain, kebaikan ibu kepada pengusaha kaya itu semata belas kasih tanpa keturunan. mereka yang meminta, dan bapakku merelakan walau sebenarnya ibuku berat melepasnya. dan di balik kerelaan bapakku, di situlah ladang tempat mencari hutang tanpa sepengetahuan ibu.

Ibu menceritakan semua tanpa ada yang di kurangi dan tanpa ada yang di tambah. gadis itu adalah adik kandungku. semenjak bapak tirinya meninggal, kasih sayang dari ibu tirinya tak seperti bapaknya.

Ibu tirinya menyampaikan, bahwa sudah tidak kuat lagi merawat dan ingin mengembalikan keangkuan ibu. semenjak bapaknya meninggal semakin menjadi, ia terlalu liar, bandel, di tegur membantah, setiap malam pulang di atas jam 8. bahkan jam sekolah pulang, tidak tepat waktu selalu saja pulang sore. kecelakan saat itu bukanlah yang pertama kali melainkan sudah yang ke 3 kalinya.

Waktu sudah mempersingkat, ibu juga sudah menerimanya kembali sebagai anak ke tiga telah kembali, walau adik ku sempat tak yakin dan pada akhirnya mempercayai dengan sepenuh hati setelah tanda lahir di punggung sudah di jelaskan.

Perjanjian yang begitu kuat dan tanggung jawab, setelah adikku sembuh barulah pulang ke rahmat ibuku dan biaya rumahsakit akan di tanggung sepenuhnya.

Ibu bumi bapak langit
inilah hidupku dan keluargaku
yang selalu tanpa ke hadiran bapak
hanya ibu yang yang selalu menemani suka maupun duka

Aku hanya bisa berharap, kerinduan ku kepada sang kepala keluarga semoga kenyataan. aku juga merindukan kebersamaan, sama seperti adikku yang selalu merindukan bapaknya.

Habis gelap, terbitlah terang
kami menanti bapak segera pulang.


cerpen ini mengandung fakta
Dimana kejadian sebenarnya hanya beberapa kejadian fiktif.
Dan kami sajikan berupa artikel. 
jika ada kesamaan hanya sebuah kebetulan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »