cerpen: do'a matahari terbit

Do'a matahari Terbit

Pagi berangkat sore pulang, bahkan tak pernah ketinggalan bekal terbungkus rantang untuk makan siang, kami selalu membawa tersendiri. kami serombongan 14 orang hanya pekerja kuli bangunan bukan pegawai bank. kami datang dari kampung pelosok perbatasan demi mengais rizki ke kota tingkat kabupaten hanya memeras tenaga dan keringat.

Sebenarnya pekerjaan ini bukan profesi kami berdua, walau terkadang sepi job menjadi kuli panggul kamera, kami terlalu lincah mengambil tindakan untuk mencari kerja sampingan. lantas bagai mana lagi, tidak ada pilihan lagi selain kesawah hanya kuli bangunan satu-satunya pelampiasan kami di kampung.

cerpen do'a matahari terbit

Entahlah masa depan kami yang masih muda ini, sama sekali belum ada pandangan untuk merubah nasip ke depan. seandainya pekerjaan tetap kami seperti pedagang yang tak pernah sepi walu terkadang sepi namun buka, mungkin ini semua tidak terjadi pada kami. seperti inilah nasip pekerja kuli panggul kamera kelas resepsi kampungan.

Dibalik nama perum yang mewah, fakta hanya nama terlukis di gapura pintu masuk. kumuh, berantakan, dan bahkan beberapa rumah tak layak huni masih kudapati canda tawa sekeluwarga mereka.

Hampir selama dua hari bekerja, wajah pemilik rumah masih tergolong asing bagi kami. konon, warga sekitar terlalu hormat kepada setiap penghuni perum. karena di setiap kepala keluwarga, diantara salah satu terdapat salah seorang pegawai negri sipil.

Jangan di tanya, perum ini terlalu mewah di era 90-an. begitulah nasip dan kondisi saat itu, strutur sudah tak lagi bersahabat dengan alam.

Di kemudian hari, apa yang kami harapkan untuk berjumpa wajah sang pemilik rumah benar terjadi. kepala botak, dan berwajah oval, warna baju yang di kenakan tak lain memang benar khas para anggota PNS.

Sekilas setelah usai perbincangan dengan mandor pemborong, ternyata beliau adalah kepala sekolah negri tingkat dasar. sudah semestinya kami menghormati para pahlawan tanpa tanda jasa ini.

Sesekali kami saling menawarkan sarapan ubi rebus, dan segelas teh manis kepada bapak sekolah. tanggapan yang begitu sanatai dan berkata sejarah masa lalu tempo dulu juga di sampaikan, sambil menikmati tawaran dari kami.

Di bawah rimbunya pohon mangga yang rindang, satu-satunya tempat kami bergerumun tanya jawab layaknya konferensi tanpa meja bundar.

"peralatanya semua ada di dalam rumah sebelah ini ya pak". Tegas bapak, ketika di tanya pak tukang inti mengenai bahan perlengkapan.

Kami semua mengira, peralatan akan datang secara mendadak, dan ternyata sudah komplit ada di samping rumah. saling berhimpit, tetangga, dan satu-satunya rumah paling timur sendiri.

Pandangan mata kami saling menyalip, saling melihat, dan saling bertatap wajah. stelah pak kepala membuka pintu, dan bertutur kata amat sopan.

"Assallamuallaikum.. bu" sapa pak kepala, namun tak ada jawaban. "oh.. mungkin di teras belakang".

Benar-benar mustahil, dan tidak mungkin. tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada penghuninya rumah seperti ini. kondisi fisik rumah 90% tidak layak di huni, namun di dalam ada seseorang yang menghuninya.

Awal pertama kali kami tiba di lokasi, kami semua mengira rumah ini yang akan di renofasi, namun dugaan kami semua salah 100%. setelah mendapat telepon dari sang pemilik, rumah yang kami garap nomor dua dari timur.

Kondisi rumah paling timur sangat memperihatinkan. bagai mana tidak, dinding rumah itu terlukis jelas, retak,  bengkah seperti peta tak bersekala. rayap-rayap yang licik mengukir di beberapa kusen dan pintu. genteng yang terurai seperti gelandangan bertahun-tahun yang tak pernah di keramas rabutnya. dan bahkan, bau yang menyengat seperti gudang tikus, bau pesing dari kamar mandi, apek, sangat menusuk hidung kami semua dari luar rumah.

Satu persatu kami membuktikan dan masuk kedalam rumah. bahkan tidak ada yang kuat menahan seribu rasa tersebut, lantas sili berganti menjauh dari lokasi.

"amit-amit, jabang bayik". desah salah satu rekan, sembari mual-mual serasa ingin muntah.

Muka nampak merah, kudapati ia menahan tiupan angin yang membawa aroma sangat tidak sedap. satu persatu menyingkir, begitu puas gunjingan mereka terhadap istana tersebut.

Bau yang tak sedap mampu mengelabuhi ku, karena rasa penasaran raut wajah sang penghuni rumah. kondisi ruang dalam sulit kami gambarkan, seratus persen berantakan. penuh sarang laba-laba, deru debu, semua tak ada yang utuh, mega mendung nampak jelas dari dalam rumh. bahkan, pintu kamar dan almari sepertinya sakit pinggang berkepanjangan. kondisi yang sangat memperihatinkan, membuat mata hati terbuka lebar.

Sepertinya, pak kepala mengetahui tingkah laku kami semua yang kurang begitu baik dalam menilai. satu diantara rekan memperjelas untuk bertanya, kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi.

Beliau memperjelas kepada kami semua, bahwa sang penghuni rumah terserang penyakit setrok. selama 5 tahun terkhir ini bu Endang bersama anak asuhnya tinggal di rumah ini. kisah gempa 27 mei, oleh sebab itu rumah menambah kondisi menjadi seperti ini. dan, semenjak kejadian itulah bu Endang mengidap penyakit setrok.

Suaminya merantau ke ibu kota jakarta, itu saja belum pasti pulang berapa bulan sekalinya. sehari hari hanya Reza lah menemani bu Endang, baik suka maupun duka. entahlah, dua anak kandungnya jarang pulang menjenguk ibunya.

Walau terkadang sehari tak jumpa nasi, mereka tetap bertahan. sehari-hari sebelum bapak kepala pindah sementara, beliau serta istrinya juga tidak tinggal diam bersedaku melihat tetangganya seperti itu. apapun yang ada dan yang tersisa, selalu memikirkan nasib bu Endang dan Reza.

***

Jilbab kuning sudah tak lagi berona, wajah berminyak sudah tak lagi di ragukan, bahwa air memang begitu sulit di dapat. pandanganya sudah pasrah, hanya mengandalkan salah satu kaca mata yang sudah tak lagi berkilau. tongkat kayu menjadi teman setianya saat kaki melangkah demi selangkah maju.

Hari ketika itu, wajah yang kami nanti dan kami tunggu hadir di pagi yang cerah. kami berjumapa dengan bu Endang, pipi bersandar di ambang pintu, mengucap begitu lirih. beliau menyapa kami semua yang hendak menikmati pisang rebus dan segelas teh seperti biasanya.

"pak.. saya minta minumnya?" jelasnya.

Setiap kami hendak sarapan, bapak kepala selalu hadir. sejak pertama kami bertemu, beliau mengirimkan ubi serta segelas teh yang kami sajikan. kami semu lalai akan pesan bapak kepala saat itu, dengan sangat dan hormat, bila mana tidak datang, diantara kami di minta untuk mengantar sarapan dari sajian kami.

Walau diantara kami ada yang menganggapnya jijik, bahan sama sekali tak mau menatap wajah beliau, namun sebagian kami memiliki jiwa yang baik dan berbelas kasih.

Sejak itulah, kami semua mengenalnya begitu akrab. meski masih di bawah umur, Reza begitu tegar menghadapi kenyataan hidup yang di alami. bagai mana tidak, meski bukan anak kandung bu Endang, Reza yang masih duduk di bangku kelas 5 tingkat dasar mampu merawat ibunya walau dari hal yang terkecil.

Waktu yang terus berputar sejalan pergantian hari, kami berempat yang lebih muda, selalu bergantian mengirim sarapan kepada beliau. segelas teh, ubi rebus, pisang rebus, walau terkadang kami bosan, kimi tak pernah bosan berbuat baik kepada bu Endang.

Tidak di sangka air akan turun dari langit, jika musim kemarau masih membelenggu. pertama kali melihat, kami tidak tega melihat Reza sempoyongan membawa air untuk mandi sang ibu. bagai mana tidak, ember dengan tubuhnya yang mungil saja masih besar embernya. sejak itulah, setiap sore hendak pulang, kami selalu mengisi bak mandi, agar beban Reza lebih ringan.

***

Hati tak sekeras batu, sedikitpun kami tak ada unsur mencari uluran tangan para sahabat, baik itu yang nyata maupun dunia maya. maksut dan tujuan kami agar hati mereka tergugah, memberikan do'a dan semangat ke pada Reza.

Tiga puluh empat hari  sudah, atas izin beliau, ide yang saya miliki untuk melengkapi biographi.  hanya kamera ponsel jadul enggan berbicara, sebelum kami pergi meninggalkan tempat, sedikit kami mengabadikan moment beliau dengan Reza tengah duduk di teras belakang.

Tetes air mata beliau tengah menyalip pandangan kami, ketika di usap jari telunjuk ia pura-pura tersemnyum. bahkan, wajah Reza yang polos sama sekali tak mau menatap kami.

Memang berat, karena keakrapan kami menyerupai keluwarga sendiri. apapun yang terjadi, kita semua harus pergi karena tanggungjawab di luar sana menanti.

Sedikit demi sedikit, kami hanya bisa meninggalkan do'a dan uang jajan untuk Reza. mata yang kaca-kaca kudapati dari beliau yang mengiring ke pergian kami.

***

Satu bulan kemudian.

Masih terbayang jelas kisah yang kami alami. kisah perjalanan hidup penuh berkumur rasa. tiga hari setelah berpisah, vidio yang kami abadikan ketika itu saya upload ke media sisial saat kami di warnet.

Tanggapan mereka semua baik, usut punya usut ini nyata. "ini tidak hanya butuh do'a saja, ini juga butuh biaya". Tegas wanita itu.

Niat kami dari awal tidak selalu meleset, mereka berhamburan ternilai positif. setelah 10 hari kemudian, saya mendapatkan telepon dari nomor asing. sama sekali aku tak mengenal kode negara itu, beberapa kali panggilan tak kunjung ada tanggapan dari saya.

Selang sehari, malam itu mulai menelepon kemabli. tidak habis berfikir, mungkin ini penting, sama sekali tak terduga mengenai pembahasan apa yang aku lakukan saat itu.

Sakura bukan sakari, negeri yang penuh impian namun tak sampai. ia memeperjelas perbincangan, bahwa ia adalah tetangga juga sahabat kami satu kampung. apa yang kami sampaikan fakta melainkan realita.

Sejak ia mengetahui status dari vidio yang saya unggah di facebook waktu itu, ia dan sahabat pemagang satu apartemen di Jepang bersepakat mengalang dana untuk membantu ibu Endang.

Orang yang pernah menolong saya ketika itu muncul, kepercayaan tidak saya ragukan kembali. semua sudah siap, semua sudah terkumpul. setiap hari atau sepekan, selalu bertanya kapan pulang kampung. namun keraguan saya untuk meninggalkan tanggungjawab posisi di ibu kota benar sulit jika ingin saya tinggalkan. terbelenggu, kami bersepakat, jika nanti saya pulang kampung segera memberi kabar ke jepang.

Tepat satu bulan.

Daun tak tersa berubah warna, rumput ilalang menghapus suka duka beliau ketika duduk membisu di teras belakang. sepertinya rumput-rumput bersepakat mengihasi teras. sepertinya rumput itu menyimpan tawa di celahnya dinding yang retak, ukuran amat panjang pertanda ia sudah nyaman karena tak ada yang mencabut.

Hanya beberapa ayam tetangga yang setia menunggu di teras beliau. tiang sebelah timur sudah tak mampu menahan beban yang di derita.

Sepi dan sunyi rumah itu, hanya tetangga paling ujung barat yang tersisa. hampir dua kali ke rumah bapak kepala, selalu saja sepi tak terhuni, mungkin beliau sibuk bekerja.

Sepertinya wajah kami asing, tetangga beliau melihat kami seolah bingung, mencari sesuatau yang tak jelas di cari menurutnya.

Malu bertanya sesat di jalan, filosofi yang tak kan pernah mati. kami mendahului untuk bertanya kepada wanita yang sedang menyusui itu, bertanya tentang ke beradaan bu Endang dan Reza saat ini.

Hanya kecoa dan tikus liar mampu bertepuk tangan di rumah itu, bahkan kelelawar tak ketinggalan. mereka hidup dengan leluasa menjadi penghuni surga di istana. wanita itu memperjelas kenyataan sebenarnya, hampir satu bulan bu Endang meninggal dunia, dan Reza di ajak bapaknya ke jakarta sejak itu.

Seiring musim gugur bunga sakura di jepang, pupus sudah harapan niat baik kami semua. kabar pilu segera kami beru tahu kepada sahabat kami yang di rantau negeri sakura. penantian ingin segera membawanya kerumah sakit, kini meninggalkan kebaikan kami ke rumah Sang Maha Esa. mereka yang tinggal di negeri matahari terbit hanya bisa mengirim do'a, semoga amal ibadah dan kebaikan kami semua di terima oleh ALLAH Subhannahu'Wattaalla.

***

Niat baik selalu mendapatkan yang terbaik
Kebaikan akan selalu bermunculan, datang tanpa di duga
Kebaikan di dunia akan membawa kebaikan di alam kedua
Selama matahari masih terbit jangan berhenti berbuat baik

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »