Langit tak memandang hina
Dibalik bulu kehidupan kutu - dari sudut gedung yang megah, terdapat sebuah nama tiga serangkai, bagiku nama yang amat sakral. nama yang tertera di propaganda tidak begitu nampak jelas karena lautan pepohonan yang rindang ikut serta menghiasi. nama itu masih menyimpan kisah yang tak terlupakan, ketika peran sahabat kami mengais rizki.
Sebuah benteng permainan catur berdiri kokoh di tengah jalan, entah siapa yang mempelopori salah satu prajurit skak itu berdiri menghiasi jalan. bahkan namanya cukup di kenal masyarakat seluruh kota pelajar. siapa yang tak kenal daerah Istimewa Yogyakarta. mungkin, hanya orang yang tertimpa takdir menjadi tuna netra, tuna rungu dan tuna wisma menjadi satu yang tidak menganlnya. atau mungkin, anak kecil baru-baru keluar di dunia lantas meninggalkan orang tuanya dengan tangis tersendu-sendu, bisa jadi seperti itulah kehidupan.
Hampir setiap pagi, siang, hingga petang menjelang metahari terbenam dan terbit kembali, tak ada habisnya para manusia beraktifita yang lewat di sana. sempat terkejut ketika siang itu, aku melihat tangis seorang pelajar yang tak memiliki surat kendaraan bermotor, siapa lagi kalau bukan ulah bapak polisi yang menakuti bocah itu, wajar saja karena ia melanggar rambu-rambu yang berdiri membisu.
Waktu yang amat cukup melelahkan ketika lampu merah tak kunjung hijau, namun terik matahari serasa memberi keadilan kami semua yang mengantri di perempatan itu. hanya kutu rambut yang tak bisa menerima kenyataan terik mentari hingga, pengendara sebelah membuka helm sambil menggaruk-garuk kepala sambari terperingis.
Rasa ilu di hati ketika aku merubah pandangan kekiri, tepat di sudut trotoar kakek pemgemis itu duduk dengan tubuh bergemetar sembari mengulurkan tangan dengan senjata andalanya. ketika salah seorang melambai memberi uang, kakek itupun jongkok dengan menyeret botol bekas yang menjadi salah satu sandal idaman. "Subhanaallah", tertegun setelah kudapati beliau cacat seumur hidup, karena kedua kakinya tidak mampu menipu kedua mataku ini.
Sungguh luar biasa, waktu 75 detik pergantian waktu berhenti dan jalan mampu membuat penuh uang kertas dan recehan numpuk hingga memenuhi baskom lusuh itu. aku pun tertarik untuk memberi Rupiah walau tak seberapa.
"andai itu bapak ku, tidak bisa ku biarkan hidup di jalan seperti ini, entah itu bagaimana caranya". hati kecilku
Bunyi klakson dari belakang membuat sadar ingatan segera melanjutkan perjalanan.
-*-
Dibalik luka penuh nikmat - peluit seorang wasit yang tak punya medan lapangan menyuruhku mendekat ke hadapanya, dan tanganya seperti hakim garis tanpa bendera segera merapat ke posisi parkir.
Bukan bus pariwisata ataupun bus metromini yang parkir di halaman ruko tiga serangkai, melainkan satu-satunya grobak pengais rizki milik teman dari kampung yang menjadi tujuan untama kejogja. di balik kaca pintu tiga serangkai, amat bening wajah-wajah spg dengan rambut terurai.
Sepertinya ia mencium aroma khas kedatanganku, keluar dari pintu kaca tiga serangkai nampak senyum kecut ketika mengatahuiku duduk di kursi samping grobak. kami sudah saling akrap, perjumpaan dengan jabat tangan tak pernah ketinggalan.
Hampir berjam-jam kami membicarakan persoalan apa yang menjadi tujuan sudah tersampaikan, dari yang serius samapai yang bercanda cukup banyak kami bicarakan, bahkan gadis di balik kaca berambut panjang lurus pun juga menjadi bahan percandaan kami.
Waktu menjelang sore, ketika aku mengucap pamit kepada temanku serasa ia tidak iklas. ini sudah menjadi tradisinya dan sering kali jika kami saling bertemu tidak di perbolehkan pulang, sesekali ia menyuruh ku untuk bermalam. tidak mengurangi rasa hormat, saya selalu tau diri karena situasi, kondisi dan lain lagi ketika ia masih bujangan.
Ketika aku mempersiapkan diri beranjak pulang, sesekali ku lihat kakek di tepi jalan itu. sebenarnya jarak tiga serangkai dan perempatan itu hanya hitungan meter, kakek yang membuat jiwaku hidup sudah tiada di lokasi, entahlah kemana beliau pergi untuk bermalam.
Aku tidak menyangka, dari gerak gerik kecilku seperti mencari sesuatu dari pandangan di ketahuinya, lantas ia bertanya kepadaku "siapa yang kamu cari", sedikit aku menjelaskan tentang kakek yang berada di perempatan itu.
Sebelum penjelasan usai, ia terenyum kecut kemudian berkata bahwa rasa belaskasihanku hanya halusinasi tipuan. sama sekali aku tidak paham apa yang ia maksut, dan sama sekali aku tidak bermaksut bergurau.
Setelah ia menjelaskan, bahwa kakek yang saya meksut itu tidak pantas untuk kita belas kasihi seperti kalangan tulang teri seperti kita ini, jika untuk golongan tulang gajah mungkin tidak terasa karena ia tidak tau sebenatnya.
"perkataanya menjadi boomerang dirinya, suatu nanti pasti kecewa dari apa yang pernah di ceritakan. dia pernah berteduh di sini, meskipun fisik tidak normal seperti kita akan tetapi dia orang yang tak pernah bersyukur apa yang dia dapat. dia pernah bilang, sehari dapat 800,000.00 ribu mengeluh kalau hasilnya sepi. bisa tersenyum jika hasil mencapai 1,500,000.00 seperti biasanya, lebih atau kurang sedikit pasti dia berkata lumayan. bukan berarti saya iri, namun hasil seberapa tidak bisa bersyukur itu yang menjadi saya mengusap dada. bayangkan, gaji pegawai negeri itu tak seberapa di banding hasil tiap harinya, itu pun penuh perjuangan yang tinggi seorang pegawai negeri. dan yang paling mengagumkan, asisten pengantar jemput juga pernah bilang, bahwa dia punya rumah yang megah, dan mampu memberikan dukungan pendidikan kepada anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi semua". ujarnya..
Sungguh luar biasa tokoh inspiratif kisah itu, mungkin ini sudah jalan yang semestinya di jalani. tangan di atas lebih mulia katimbang tangan di bawah, pepatah itu tak akan musnah di telam masa. walau fisik tidak mendukung, hasilnya mampu membuat nyaman hidupnya. langit tidak memandang hina, namun dunia selalu berkata sebenarnya.
Aku tidak menyangka, dari gerak gerik kecilku seperti mencari sesuatu dari pandangan di ketahuinya, lantas ia bertanya kepadaku "siapa yang kamu cari", sedikit aku menjelaskan tentang kakek yang berada di perempatan itu.
Sebelum penjelasan usai, ia terenyum kecut kemudian berkata bahwa rasa belaskasihanku hanya halusinasi tipuan. sama sekali aku tidak paham apa yang ia maksut, dan sama sekali aku tidak bermaksut bergurau.
Setelah ia menjelaskan, bahwa kakek yang saya meksut itu tidak pantas untuk kita belas kasihi seperti kalangan tulang teri seperti kita ini, jika untuk golongan tulang gajah mungkin tidak terasa karena ia tidak tau sebenatnya.
"perkataanya menjadi boomerang dirinya, suatu nanti pasti kecewa dari apa yang pernah di ceritakan. dia pernah berteduh di sini, meskipun fisik tidak normal seperti kita akan tetapi dia orang yang tak pernah bersyukur apa yang dia dapat. dia pernah bilang, sehari dapat 800,000.00 ribu mengeluh kalau hasilnya sepi. bisa tersenyum jika hasil mencapai 1,500,000.00 seperti biasanya, lebih atau kurang sedikit pasti dia berkata lumayan. bukan berarti saya iri, namun hasil seberapa tidak bisa bersyukur itu yang menjadi saya mengusap dada. bayangkan, gaji pegawai negeri itu tak seberapa di banding hasil tiap harinya, itu pun penuh perjuangan yang tinggi seorang pegawai negeri. dan yang paling mengagumkan, asisten pengantar jemput juga pernah bilang, bahwa dia punya rumah yang megah, dan mampu memberikan dukungan pendidikan kepada anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi semua". ujarnya..
Sungguh luar biasa tokoh inspiratif kisah itu, mungkin ini sudah jalan yang semestinya di jalani. tangan di atas lebih mulia katimbang tangan di bawah, pepatah itu tak akan musnah di telam masa. walau fisik tidak mendukung, hasilnya mampu membuat nyaman hidupnya. langit tidak memandang hina, namun dunia selalu berkata sebenarnya.