kisah senyum yang aku rindukan

SENYUM  YANG  AKU  RINDUKAN



Masih terbayang jelas, masih melekat membeku dalam benaku ketika rindu tebal  waktu itu dan, sulit aku bayangkan di saat rindu membelenggu diriku. hari berganti  hari, kondisi hidup yang aku alami semakin rumit, tambah ruwet, tambah mbulet dan  tambah mbundet setiap harinya. betapa tidak harus aku jalani dan mensyukuriya atas  itu semua, karna aku masih di beri kesehatan, walaupun sering menahan lapar  untuk  makan di hari-hari saat hidup di rantauan.

Tiada bekal ilmu dan pengalaman kerja, sulit hidup di rantauan untuk mencukupi kebutuhan hidup. lebih-lebih seperti diriku. pendidikan yang hanya tamat SLTP, sangat  menciut untuk di banggakan. bisa hidup saja lebih dari rasa syukur atas karunia NYA YANG  MAHA  KUASA. perjalalan  waktu itu  masih selalau aku ingat. sering kali aku menawarkan diri ini kerja disebuah toko, pelayan warung makan, bahkan sampai loper  koran, selalu di tolak denggan kata-kata yang terlalu matang. dan aku sadar, bahwa pekerjaan itu sangat terpandang, tak pantas untuk diriku. namun, langkah kaki dan semangat niatku kerja tak pernah surut di tengah jalan, hingga aku melempar diri keproyek bangunan. namun apa yang terjadi, terlalu  matang untukku telan, terlalu mentah ketika aku  di tolak di  salah satu proyek bangunan itu, bahkan lebih dari beberapa pembanggunan all hasil nihil.

Ketika itu, aku merasakan hidup yang sudah tiada artinya, bahkan aku merasa tak berguna, lebih-lebih di mata keluarga yang tinggal tiga roda. tujuh hari sudah dalam hitungan jari, aku pergi meninggalkan kampung halaman, dan meninggalkan adik tercinta serta nenek tercinta yang selalu menyayangi cucunya itu. bekal Do'a dan saku yang aku bawa tak seberapa mencukupi untuk hidup selama itu, jiwa dan raggaku sudah benar-benar lelah menjalani keseharian saat itu. aku sangat linglung, bingung kemana lagi  jalan yang harus ku tempuh. selama tujuh hari, aku terdampar di  kota pelajar tanpa sanak saudara satu orang pun. tetes air mata membasahi pipiku di saat kedua tanganku bersedaku di atas pangkuan lutut, tepat di sebuah emperan ruko yang berderetan itu. terbayang jedlas di benak satu wajah ibu ku yang telah tiada selama-lamanya. beberapa kali sesenggukan mengiringi tangisku, tak kuasa aku memandang ke berbagai arah. kepala merunduk, tak mampu memandang ubin, bahkan memandang di balik ubin begitu luas bumi yang ku injak, namun begitu sempit rasa rindu ini untuk berjumpa dengan ibunda tercinta.

Hatiku benar-benar tergugah, di saat Adzan dhuhur berkumandang yang begitu merdunya waktu itu. semula aku tak sadar,  bahwa hari itu tepat pada hahi jum'at, dimana kaum muslim menunaikan ibadah sholat jum'at sebagai mana tanggung jawabNYA. amat pelan membuka kedua mata serta mengusap air mata yang belepotan di wajahku, sambil mencuri-curi pandang keberbagai arah. tak satu orang pun memandangku, dari sekian banyak orang pejalan kaki di sekitar emperan ruko serta di jalan itu.

Suara adzan yang belum usai, dan begitu masih jelas menusuk kedua telinga serta jemariku. suara itu seolah memikat, menyeret, dan menggelandang diriku ke masjid untuk bersembahyang. meskipun dalam hati yang bimbang, akhirnya aku mengurungkan niat untuk sholat jum'at di masjid terdekat pada hari itu. dari hati yang paling dalam, penuh intuisi yang tajam, semua  rasa yang  membelenggu ku curahkan kepada SANG PENCIPTA saat sholat tengah usai. tak lepas tangisku yang setia membaluri do'a di setiap do'a untuk keluarga dan harapan kerja.

Langkah kaki yang semakin berat melangkah saat meninggalkan masjid, di setiap angan dan bayangan  tak ada harapan untuk aku perjuangkan di kota ini lagi. sehari semalam menahan perut yang kosong, niat dan tekatku sudah bulat untuk pulang kan berjalan kaki. botol bekas air mineral yang semula aku pungut dari halaman masjid, kemudian aku isi air kran di tempat wudhu. sebotol air mentah sekitar berukuran 600ml itulah yang menyimpan harapan untuk bekal dalam perjalanan pulang. jarak dari kota ke kampung halaman, tak dekat seperti yang ku pandang dari kedua mataku, namun  begitu  dekat  bayangan  adik  dan  nenek yang  melekat dekat di  hati  ini.

Terik panas matahai yang menyengat begitu dahsatnya, sangat mudah dan mampu membuat diriku kelelahan. sekuat dan semampuku, tetap betahan untuk melanjutkan perjalanan, meskipun tiap menit beristirahat sejenak. jikala sebotol air yang ku bawa habis di tengah perjalanan, di setiap masjid  serta melakukan sholatlah yang menjadi tujuan sasaran utama pengisian serta peristirahatan. tekadang di setiap lelah, letih, lesu, selalu aku sempatkan berbaring di ubin masjid yang sangat aku kenal terasa dingin itu. dan jikala kedua mataku sayu memandang, kepala terasa berat, selalu aku guyur dengan air di kran tempat wudhu agar selalu frees.

Hari sudah mulai gelap, ba'da isy'a sudah terlewati, langkahku menyusuri setiap jalan yang begitu jauh semula aku bayangkan. setapak demi setapak kakiku bejalan, akhirnya tiba di kampung halaman hingga larut malam. beruntung nenek belum tidur, dua kali ketukan pintu, beliau lalu membukanya. sambutan yang begitu tenang, ketika aku dipersilakan masuk ke dalam rumah. setelah aku masuk, kemudian duduk di sebuah kursi panjang yangt erbuat dari bambu. begitu setianya beliau mengambilkan minum yang tertampung di sebuah kendi hitam lusuh. haus yang kurasa tiada hentinya mencabik-cabik tenggorokanku saat itu, air putih di dalam kendi kemudian aku minum tanpa mnggunakan gelas. ucapan syukur tak lepas aku ucapkan, ketika air putih itu memberikan  engobatan dahagaku.

Terlihat begitu jelas keriput wajah nenek ketika duduk di hadapaku, wajah itu seolah mnggambarkan sebuah perjuangan di masa mudanya. tak lama kemudian, beliau menanyakan apa yang terjadi pada diriku selama satu minggu berkelana di kota. mungkin, beliau sedikit tidaknya mengetahui apa yang aku bawa kabar saat pulang itu, karna raut wajahku tak bisa berbohong. selama satu minggu aku di kota menjadi bolang mencari pekerjajan, semua aku critakan kepadanya, dari awal hingga akhir perjalanan kmbali ke kampung halaman rumah.

Di penghujung perbincanganku kepada beliau, kata-kata yang sangat berbobot aku timbang pertimbangkan saat ia berkata ''SABAR DAN BERUSAHA, dan jangan lupa berDO'A PADANYA''. semula, aku tak  tau kata-kata inspiratif itu untuk mengenal lebih akrab, apa lagi menjalani. hanya orang yang ber pengalamanlah yang tau arti isi kandungan tiga kata fakta filisovinya luar biasa itu. bekal pengalaman yang semula kosong dalam hati, malam itu tertanam sebuah bekal yang kelak untuk  meraih sebuah harapan berbagai harapanku dan untuk di wariskan sang ahli waris, serta yang membutuhkan.

Malam kian sepi nan sunyi, beliau menyuruhku untuk  segera beristirahat dan tak lupa menyuruhku ganti baju serta mencuci muka. ketika aku menghampiri kamar adikku, betapa ilunya saat ia tertidur lelap tanpa sehelai selimut yang melekat di atas tubuh mungilnya. posisi miring, kedua tangan terapit oleh kedua betisnya. dinding-dinding bambu anyaman serumah itu seolah menertawakan kami bertiga, ketika angin mampu menembus masuk kedalam rumah. selimut yang tertindih tubuhny itu, kemudian aku tebarkan untuk memberi kehangatan. ''maaf kan kakak ya dik!! kakak pulang hanya membawa tangan kosong. kakak belum bisa bahagiakan adik saat liburan besuk." rambut lurus yang tumbuh di kepala begitu renggangnya itu, aku usap beberapa kali sebelum aku mulai beristirahat.

Narasumber : by Santoso

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »